Senin, 02 Maret 2015

MAKALAH ILMU KALAM (Abu Hasan al- Asy'ari)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Hafizh Ibnu Asakir ber­kata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al­-Qairawani berkata,
‘Sesungguh­nya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah. 
Beliau ber­bicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menye­leweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhu­nus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.
Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”
B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari ?
2.      Bagaimana sejarah hidup beliau ?
3.      Seperti apa karya-karyanya ?


C.    Tujuan

1.      Menjelaskan riwayat beliau
2.      Memaparkan sejarah hidup beliau
3.      Mengetahui karya-karya beliau


BAB II
    BIOGAFI

A.     Riwayat  Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari
Beliau  namanya adalah Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa Al-asy’ar. Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 873 M/ 260 H di Bashrah irak, dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-asyakir, al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan ke-padanya. Tetapi oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.[1]
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid Basrah bahawa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi Al-asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adaalah pengakuan Al-asy’ari telah bermimpi bertemu daengan Rasul sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya Rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela paham yang telah diriwayatkan beliau.[2]
B.     Karya

Al-Asy’ari menulis tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai bidang yang bisa dibaca orang banyak. Dia menolak pendapat Aristoteles, golongan materialitas, antropomorphist, golongan khawrij, golongan Murji’ah, dan terutama golongan Mu’tazilah-Qadariyah.
Akan tetapi, fokus kegiatan Al-asy’ari adalah menyerang pikiran-pikiran sesat yang ditujukan kepada orang-orang Mu’tazilah sperti Abu Ali al-Jubba’i, Abul Hdzail, dll.

Ada empat kitab tulisannya yang terkenal dalam Ilmu Kalam, yaitu :
1.      Maqalat al-Islamiyah wa ikhtilaf  al-mushallin
Kitab ini menerangkan tentang pendapat-pendapat golongan Islam. Kitab ini adalah kitab yang pertama kali ditulis tentang kepercayaan dan merupakan sumber-sumber karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab terssebut dibagi tiga  bagian. Bagian pertama ; berisi pendapat macam-macam golongan Islam. Bagian kedua ; berisi tentang pendirian-pendirian ahli hadis. Bagian ketiga ; berisi tentang macam-macam persoalan ilmu kalam.
2.      Al-Banah An Ushul al-Diniyyah.
Kitab ini menerangkan tentang dasar-dasar agama. Kitab ini menguraikan tentang kepercyaaan Ahlussaunnah dan diawali Ahmad bin Hambal dan meyebutkan kelebihan-kelebihannya, dengan memuji imam Ali.
3.      Kitab Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
Kitab ini berisi bantahan-bantahan yang teratur dan sistematik dengan sorotan yang tajam terhadap lawan-lawannya, orang-orang sesat dan hali bid’ah.
4.      Risalah Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam
Kitab ini berisi perbincangan tentang pentingnya ilmu kalam,dengan pendekatan Rasional, menjelaskan posisi kalam bahwa ia bukanlah yang  ilmu yang bid’ah.[3]

Di antara tulisan-tulisan be­liau adalah: al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kita­bush Shifat, Kitabur Ruyah bil Ab­shar, al-Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy­-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jum­latu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al­-Mukhtazin, dan yang lainnya. Al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-­Asy’ari memiliki 55 tulisan.[4]
C.    Keagungannya
Syeikh muhammad abduh menerangkan keagungan imam Al-asy’ari dalam firqoh Ahlu sunah sebagai berikut.
“ Dengan adanya kata sepakat antara orang-orang salaf dengan golongan-golongan yang sehalauan dengan mereka untuk bersama-sama menentang orang-orang zindiq dan pengikut-pengikutnya, maka perselisihan diantara mereka menjadi memuncak. Hari- hari kemenangan silih berganti berada diantara merek. Namun demikian, tidak menghalangi masing-masing pihak untuk memperdalam ilmudan mengambil faedah tentang keilmuan satu pihak denganmpihak yang lainnya, hingga datang Syaikh abul hasan A-asy’ari pada awal abad ke -4 hijriyah. Dia berjalan ditengah, yaitu antara keyakinan orang-orang salaf dan keyakinan orang-orang yang menentangnya. Dia menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal. Tetapi orang-orang salaf meragukan kebenaran pendiriannya itu dan banyak diantataranya yang menyaerangang akidahnya yang demikian it, sehingga pengikut-pengikut madzhab Hambali mengkafirkan pendiriannyam itu dan menghalalkan darah orang yang menganutnya. Sebaliknya kemudian beliau dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama terkemuka , diantarany a seperti abu bakar al-baqillani, imam haromain, dll.




BAB III
PEMBAHASAN
Beberapa waktu lamanya dia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadis. Ketika berusia 40 tahun,  dia berkhalwat dirumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jumat., dia naik mimbar di masjid Basrah, secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah :
Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenali diriku sendiri. Aku adalah fulan bin fulan. Dahulua aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat, mencabut dan menolak paham-paham Mu’tazilah dan keluar daripadanya untuk membongkar kesalahan-kesalahannya.”

Adapun sebab terpenting mengapa Al-asy’ari meninggalkan Mu’tazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Sebagai seorang Muslim yang mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran . Hal ini disebabkan karena mereka terlalu menonjolkan akal pikiran.
Kejadian tersebut berlangsung berlarut-larut berkepanjangan, sedangkan dari pihak penguasa pemerintahan Bani Umayyah tampaknya tidak berminat untuk mencarikan penyelesaian, mendamaikan atau mencari titik temu perbedaan pendapat itu, guna memberikan kepuasn semua pihak.
Telah banyak timbul simpang siur paham Washil bin Atho’ dan pengikut-pengikutnya. Diantaranya mereka mempelajari filsafat dari buku-buku Yunani, sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka mengira, bahwa memperkuat kepercayaan agama dan menetapkannya dengan ilmu tanpa mengadakan pembedaan apakah ia sesuai dengan pandangan akal ataukah dugaan belaka, adalah termasuk pengabdian kepada Allah swt.
Pembicaraan tentang ilmu kalam, yakni dengan menghubungkannya kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an . Kemudian timbullah masalah tentang Khalqul Qur’an. Apakah Al-qur’an itu mahluk atau Azali, yang tidak ada permulaan. Oleh karena itu, banyak korban yang mengalir darahnya dengan cara tidak wajar dan banyak pula ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang takwa mendapat bencana.
Perlu dijelaskan corak pemikiran Al-Asy’ari, karena terdapat dua corak pemikiran yang tamapaknya berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi. Dia berusaha mendekati ulama-ulama fiqih dari golongan sunni, sehingga ada orang yang mengatakan bahwa Al-asy’ari itu bermadzhab Maliki dan yang lain lagi mengatakan bahwa dia bermadzhab Hambali. Disamping itu, adanya keinginan Al-asy’ari menjauhi madzhab-madzhab fiqih.
Dua corak pemikiran tersebut tidak bertentangan. Dia mendekati madzhab-madzhab fiqih dalam soal-soal furu’. Sebagai orang yang pernah mengikuti paham Mu’tazilah, Al-asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal pikiran dan penggunaan argumentasinya . Dia juga menentang pendapat mereka yang mengatakan bahwa  penggunaan akal pikiran dalam membahas masalah-masalah baru dan kenyataannya sahabat-sahabat nabi itu tidak dinyatakan sebagai ahli bid’ah.
Akan tetapi, Al-asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan dalam penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah, seperti mereka tidak mengakui hadis-hadis Nabi sebagai dasar agama.
Dengan demikian, jelaslah keduudukan Al-Asy’ari sebagai seorang Muslim yang benar-banar ikhlas membela kepercayaan, berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadis sebagai dasar agama, disamping menggunakan akal pikiran yang tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat pemahaman nash-nash agama.
Imam Al-Asy’ari meninggal tahun 330 H/ 943 M . Sesudah meninggalnya, beberapa tahun pahamnya mengalami keredupan, karena adanya pengikut-pengikut yang agak condong ke rasionalisme. Karena itu timbullah pihak-pihak yang menentangnya, yaitu pengikut madzhab Hambali, sehingga berdampak menurunnya terhadap kegiatan mereka. Keadaan menjadi tertolong, ketika khalifah al-mutawakkail dari bani Abbasiyah mulai berpihak kepada ajaran al-Asy’ari dan kemudian berlanjut ketika Nizham al-muluk, sseorang mentri dari Bani Saljuk mendirikan dua buah madrasah yang terkenal, yaitu Nizhamiyah di Naisabur dan di Baghdad, yang mana hanya aliran Asy’ariah sajalah yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran Asy’ariah menjadi aliran resmi negara. Paham Asy’ariah ini di anut oleh umat Islam yang bermadzhab Syafi’i atau Maliki.
Di samping  penunjang penguasa, yaitu Nizham al-muluk, maka kemajuan aliran Asy’ariah ini dukung oleh ulama-ulama terkenal, antara lain Al-baqillani, Al Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrudin Ar-Razi, Asy-syahratsani, dan As-sanusi.[5]
A.    Doktrin-doktrin Teologi Al-asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks extrim pada satu sisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksonis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenrinng adalah , sebagai berikut :
Ø  Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrim. Pada satu pihak, ia berhadapan dengan klompok sifatiah (pemberi sifat), klompok mujassimah (antropomorfis), dan klompok musyabbihah.
Menghadapi kelompok yang berbeda tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah), sperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. selanjutnya beliau berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia pada umumnya. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dara esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
Ø  Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Al-asy’ari mengambil pendapat menengah diantara dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme, dan Mu’tazilah menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Untuk menengahi kedua  pendapat diatas, beliau membedakan anatara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya . Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu.(termasuk keinginan manusia).

Ø  Akal wahyu dan kriteria baik buruk
Meskipun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah menakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.

Ø  Qadimnya Al-qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan eksterm dalam personal qadimnya Al-qur’an : Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an mahluk, dan tidak Qodim ; serta pandangan Madzhab Hambali dan zahiriah yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah kalam Allah. Bahkan zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-qur’an adalah qadim. Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an terdiri atas kata ,huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasuton mengatakan bahwa Al-qur’an bagi Al-asy’ari tidak diciptakan, sesuai dengan Q.S. An Nahl : 16.
Sesungguhnya firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya mengatakan kepadanya, jadilah ! maka jadilah sesuatu itu. “
Ø  Melihat Allah
Al- asy’ari tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama zahiriah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Allah bersemayam di ‘arsy. Selain itu, Al-asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak  dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Ø  Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil.  Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adlah penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Ø  Kedudukan orang berdosa

Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin ,ia kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[6]

B.     Pokok-Pokok Pemikiran Al-Asy‘Ari
Pokok pemikiran abu hasan al-asy’ari yaitu:
  1. Membenarkan teori Mu‘tazilah tentang berbagai istilah dalam al-Quran seperti Yadul-lâh dan Wajhul-lâh yang menurutnya tidak harus digambarkan bahwa Allah memiliki tangan dan wajah.
  2. Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
  3. Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya, semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
  4. Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam dengan siksa neraka.
  5. Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya, wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya. Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.[7]





BAB III
KESIMPULAN
Abu Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur. Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada ta­hun 260 H di Bashrah, Irak. Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demi­kian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya. Al-Imam Abul Hasan al­-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoi­nya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.
Imam Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam Syafi’i. Demikian tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik karangan Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar al-Furak dalam kitab “Thabaqat Mutakallimin”.
Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada empat :
1. Maqalat al-Islamiyyin
2. Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah
3. Kitab Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
4. Risalah Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam







DAFTAR PUSTAKA


Nasution, Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI Press.  2012.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,Bandung  : CV Pustaka Setia. 2013.
                  

Ahmad, Nasir Sahilun.  Pemikiran kalam,(jakarta : PT Raja Grafindo. 2010.


Syariah, Group. (http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html) 29 april 2014.
















[1] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI-Press: 2012). Hlm 66.
[2]Abdul rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung,CV Pustaka Setia :2013). Hlm 147.
[3]Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam,(jakarta, PT Raja Grafindo: 2010) hlm 208-209.

[4]http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html


[5]Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam,(jakarta, PT Raja Grafindo: 2010) hlm 201-212.
[6]Abdul rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung,CV Pustaka Setia :2013).hlm 147-150.
[7]http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html