BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Hafizh
Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila
Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al-Qairawani berkata,
‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari
awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun dan jadilah beliau
seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia selama 15 hari,
sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah.
Beliau
berbicara pada pokok-pokok agama dan membantah orang-orang menyeleweng dari
ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman
para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhunus atas Mu’taziah, Rafidhah, dan
para ahli bid’ah.
Abu
Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran
Mu’tazilah dan mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300
H.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat Abu Hasan Al-Asy’ari ?
2.
Bagaimana sejarah hidup beliau ?
3.
Seperti apa karya-karyanya ?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan riwayat beliau
2.
Memaparkan sejarah hidup beliau
3.
Mengetahui karya-karya beliau
BAB II
BIOGAFI
A. Riwayat Hidup Abu Hasan Al-Asy’ari
Beliau namanya adalah Abul
al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari keturunan dari Abu Musa Al-asy’ar. Beliau -Abul
Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan pada tahun 873 M/ 260 H di Bashrah
irak, dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau Rahimahullah dikenal dengan
kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demikian juga,
beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.
Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah seorang terkemuka
dalam golongan Mu’tazilah, sehingga menurut al-Husain Ibn Muhammad al-asyakir,
al-Jubba’i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan ke-padanya. Tetapi oleh
sebab-sebab yang tidak begitu jelas, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun
menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah.[1]
Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah
Masjid Basrah bahawa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan
menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut Ibnu Asakir, yang melatarbelakangi
Al-asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adaalah pengakuan Al-asy’ari telah
bermimpi bertemu daengan Rasul sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10,
ke-20, ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya Rasulullah
memperingatkannya agar meninggalkan paham Mu’tazilah dan membela paham yang
telah diriwayatkan beliau.[2]
B.
Karya
Al-Asy’ari menulis
tidak kurang dari 90 kitab dalam berbagai bidang yang bisa dibaca orang banyak.
Dia menolak pendapat Aristoteles, golongan materialitas, antropomorphist,
golongan khawrij, golongan Murji’ah, dan terutama golongan
Mu’tazilah-Qadariyah.
Akan tetapi,
fokus kegiatan Al-asy’ari adalah menyerang pikiran-pikiran sesat yang ditujukan
kepada orang-orang Mu’tazilah sperti Abu Ali al-Jubba’i, Abul Hdzail, dll.
Ada empat kitab
tulisannya yang terkenal dalam Ilmu Kalam, yaitu :
1.
Maqalat
al-Islamiyah wa ikhtilaf al-mushallin
Kitab ini menerangkan tentang pendapat-pendapat golongan Islam.
Kitab ini adalah kitab yang pertama kali ditulis tentang kepercayaan dan
merupakan sumber-sumber karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab
terssebut dibagi tiga bagian. Bagian pertama
; berisi pendapat macam-macam golongan Islam. Bagian kedua ; berisi
tentang pendirian-pendirian ahli hadis. Bagian ketiga ; berisi tentang
macam-macam persoalan ilmu kalam.
2.
Al-Banah
An Ushul al-Diniyyah.
Kitab ini menerangkan tentang dasar-dasar agama. Kitab ini
menguraikan tentang kepercyaaan Ahlussaunnah dan diawali Ahmad bin Hambal dan
meyebutkan kelebihan-kelebihannya, dengan memuji imam Ali.
3.
Kitab
Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
Kitab ini berisi bantahan-bantahan yang teratur dan sistematik
dengan sorotan yang tajam terhadap lawan-lawannya, orang-orang sesat dan hali
bid’ah.
4.
Risalah
Fi isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam
Kitab ini berisi perbincangan tentang pentingnya ilmu kalam,dengan
pendekatan Rasional, menjelaskan posisi kalam bahwa ia bukanlah yang ilmu yang bid’ah.[3]
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah: al-Ibanah an Ushuli
Diyanah, Maqalatul Islamiyyin, Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala
Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah, Fushul fi Raddi alal Mulhidin,
Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-Khash wal ‘Am,
Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu alal
Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni
Ruwandi, al-Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah,
Jawabus Sirafiyyin, Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al-
Funun fi Raddi alal Mulhidin, Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa
Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin, dan yang lainnya. Al-Imam Ibnu
Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55 tulisan.[4]
C.
Keagungannya
Syeikh
muhammad abduh menerangkan keagungan imam Al-asy’ari dalam firqoh Ahlu sunah
sebagai berikut.
“
Dengan adanya kata sepakat antara orang-orang salaf dengan golongan-golongan
yang sehalauan dengan mereka untuk bersama-sama menentang orang-orang zindiq
dan pengikut-pengikutnya, maka perselisihan diantara mereka menjadi memuncak.
Hari- hari kemenangan silih berganti berada diantara merek. Namun demikian,
tidak menghalangi masing-masing pihak untuk memperdalam ilmudan mengambil
faedah tentang keilmuan satu pihak denganmpihak yang lainnya, hingga datang
Syaikh abul hasan A-asy’ari pada awal abad ke -4 hijriyah. Dia berjalan
ditengah, yaitu antara keyakinan orang-orang salaf dan keyakinan orang-orang
yang menentangnya. Dia menetapkan pokok-pokok kepercayaan menurut
prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan akal. Tetapi orang-orang salaf
meragukan kebenaran pendiriannya itu dan banyak diantataranya yang
menyaerangang akidahnya yang demikian it, sehingga pengikut-pengikut madzhab
Hambali mengkafirkan pendiriannyam itu dan menghalalkan darah orang yang
menganutnya. Sebaliknya kemudian beliau dibela oleh suatu jamaah ulama-ulama
terkemuka , diantarany a seperti abu bakar al-baqillani, imam haromain, dll.
BAB
III
PEMBAHASAN
Beberapa waktu lamanya dia merenungkan dan mempertimbangkan antara
ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadis. Ketika berusia
40 tahun, dia berkhalwat dirumahnya
selama 15 hari untuk memikirkan hal tersebut. Pada hari jumat., dia naik mimbar
di masjid Basrah, secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari Mu’tazilah :
“ Wahai masyarakat, barang siapa mengenal aku, sungguh dia telah
mengenalku. Barang siapa yang tidak mengenal aku, maka aku mengenali diriku
sendiri. Aku adalah fulan bin fulan. Dahulua aku berpendapat bahwa Al-Qur’an
adalah mahluk, bahwa sesungguhnya Allah tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa
perbuatan-perbuatan yang jelek aku sendiri yang memperbuatnya. Aku bertaubat,
mencabut dan menolak paham-paham Mu’tazilah dan keluar daripadanya untuk
membongkar kesalahan-kesalahannya.”
Adapun sebab terpenting mengapa Al-asy’ari meninggalkan Mu’tazilah
ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa
menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak segera diakhiri. Sebagai
seorang Muslim yang mendambakan atas kepersatuan umat, dia sangat khawatir kalau
Al-Qur’an dan Hadits menjadi korban dari paham-paham Mu’tazilah yang
dianggapnya semakin jauh dari kebenaran . Hal ini disebabkan karena mereka
terlalu menonjolkan akal pikiran.
Kejadian tersebut berlangsung berlarut-larut berkepanjangan,
sedangkan dari pihak penguasa pemerintahan Bani Umayyah tampaknya tidak
berminat untuk mencarikan penyelesaian, mendamaikan atau mencari titik temu
perbedaan pendapat itu, guna memberikan kepuasn semua pihak.
Telah banyak timbul simpang siur paham Washil bin Atho’ dan
pengikut-pengikutnya. Diantaranya mereka mempelajari filsafat dari buku-buku
Yunani, sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka mengira, bahwa memperkuat
kepercayaan agama dan menetapkannya dengan ilmu tanpa mengadakan pembedaan
apakah ia sesuai dengan pandangan akal ataukah dugaan belaka, adalah termasuk
pengabdian kepada Allah swt.
Pembicaraan tentang ilmu kalam, yakni dengan menghubungkannya
kepada pokok pemikiran tentang kejadian alam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an
. Kemudian timbullah masalah tentang Khalqul Qur’an. Apakah Al-qur’an
itu mahluk atau Azali, yang tidak ada permulaan. Oleh karena itu, banyak
korban yang mengalir darahnya dengan cara tidak wajar dan banyak pula ahli-ahli
ilmu dan orang-orang yang takwa mendapat bencana.
Perlu dijelaskan corak pemikiran Al-Asy’ari, karena terdapat dua
corak pemikiran yang tamapaknya berbeda, tetapi sebenarnya saling melengkapi.
Dia berusaha mendekati ulama-ulama fiqih dari golongan sunni, sehingga ada
orang yang mengatakan bahwa Al-asy’ari itu bermadzhab Maliki dan yang lain lagi
mengatakan bahwa dia bermadzhab Hambali. Disamping itu, adanya keinginan
Al-asy’ari menjauhi madzhab-madzhab fiqih.
Dua corak pemikiran tersebut tidak bertentangan. Dia mendekati
madzhab-madzhab fiqih dalam soal-soal furu’. Sebagai orang yang pernah
mengikuti paham Mu’tazilah, Al-asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian
akal pikiran dan penggunaan argumentasinya . Dia juga menentang pendapat mereka
yang mengatakan bahwa penggunaan akal
pikiran dalam membahas masalah-masalah baru dan kenyataannya sahabat-sahabat
nabi itu tidak dinyatakan sebagai ahli bid’ah.
Akan tetapi, Al-asy’ari menentang keras orang yang berlebih-lebihan
dalam penggunaan akal pikiran, yaitu golongan Mu’tazilah, seperti mereka tidak
mengakui hadis-hadis Nabi sebagai dasar agama.
Dengan demikian, jelaslah keduudukan Al-Asy’ari sebagai seorang
Muslim yang benar-banar ikhlas membela kepercayaan, berpegang teguh kepada
Al-Qur’an dan hadis sebagai dasar agama, disamping menggunakan akal pikiran
yang tugasnya tidak lebih dari pada memperkuat pemahaman nash-nash agama.
Imam Al-Asy’ari meninggal tahun 330 H/ 943 M . Sesudah
meninggalnya, beberapa tahun pahamnya mengalami keredupan, karena adanya
pengikut-pengikut yang agak condong ke rasionalisme. Karena itu timbullah
pihak-pihak yang menentangnya, yaitu pengikut madzhab Hambali, sehingga
berdampak menurunnya terhadap kegiatan mereka. Keadaan menjadi tertolong,
ketika khalifah al-mutawakkail dari bani Abbasiyah mulai berpihak kepada ajaran
al-Asy’ari dan kemudian berlanjut ketika Nizham al-muluk, sseorang mentri dari
Bani Saljuk mendirikan dua buah madrasah yang terkenal, yaitu Nizhamiyah di
Naisabur dan di Baghdad, yang mana hanya aliran Asy’ariah sajalah yang boleh
diajarkan. Sejak itu, aliran Asy’ariah menjadi aliran resmi negara. Paham
Asy’ariah ini di anut oleh umat Islam yang bermadzhab Syafi’i atau Maliki.
Di samping penunjang
penguasa, yaitu Nizham al-muluk, maka kemajuan aliran Asy’ariah ini dukung oleh
ulama-ulama terkenal, antara lain Al-baqillani, Al Juwaini, Al-Ghazali,
Fakhrudin Ar-Razi, Asy-syahratsani, dan As-sanusi.[5]
A.
Doktrin-doktrin
Teologi Al-asy’ari
Formulasi pemikiran Al-Asy’ari, secara esensial menampilkan sebuah
upaya sintesis antara formulasi ortodoks extrim pada satu sisi lain. Dari segi
etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat ortodoks. Aktualitas
formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksonis terhadap Mu’tazilah, sebuah
reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.
Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari yang terpenrinng adalah , sebagai
berikut :
Ø Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrim. Pada satu pihak, ia berhadapan
dengan klompok sifatiah (pemberi sifat), klompok mujassimah (antropomorfis),
dan klompok musyabbihah.
Menghadapi
kelompok yang berbeda tersebut, Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki
sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah), sperti mempunyai tangan dan kaki,
tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi secara simbolis. selanjutnya
beliau berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan
dengan sifat-sifat manusia pada umumnya. Sifat-sifat Allah berbeda dengan
Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dara
esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya.
Ø Kebebasan dalam berkehendak (free-will)
Al-asy’ari mengambil
pendapat menengah diantara dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang
fatalistik dan menganut paham pra-determinisme, dan Mu’tazilah menganut paham
kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri.
Untuk menengahi
kedua pendapat diatas, beliau membedakan
anatara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta
perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya . Hanya Allah
yang mampu menciptakan segala sesuatu.(termasuk keinginan manusia).
Ø Akal wahyu dan kriteria baik buruk
Meskipun
Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah menakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi
berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah
mengutamakan akal.
Dalam
menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari
berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkannya pada akal.
Ø Qadimnya Al-qur’an
Al-Asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan eksterm dalam personal qadimnya Al-qur’an :
Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an mahluk, dan tidak Qodim ; serta pandangan
Madzhab Hambali dan zahiriah yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah kalam
Allah. Bahkan zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi
Al-qur’an adalah qadim. Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-qur’an terdiri
atas kata ,huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan
tidak qadim. Nasuton mengatakan bahwa Al-qur’an bagi Al-asy’ari tidak
diciptakan, sesuai dengan Q.S. An Nahl : 16.
“Sesungguhnya
firman kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami hanya mengatakan
kepadanya, jadilah ! maka jadilah sesuatu itu. “
Ø Melihat Allah
Al- asy’ari
tidak sependapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama zahiriah yang
mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan memercayai bahwa Allah
bersemayam di ‘arsy. Selain itu, Al-asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah
yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-asy’ari yakin bahwa
Allah dapat dilihat di Akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang
menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.
Ø Keadilan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu
adil. Mereka hanya berbeda dalam cara
pandang makna keadilan. Al-asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah
yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang salah dan
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-asy’ari berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adlah penguasa Mutlak. Jika
Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al-asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
Ø Kedudukan orang berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah.
Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang
harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin ,ia kafir. Oleh karena itu,
Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[6]
B.
Pokok-Pokok
Pemikiran Al-Asy‘Ari
Pokok pemikiran
abu hasan al-asy’ari yaitu:
- Membenarkan teori Mu‘tazilah tentang berbagai istilah dalam al-Quran seperti Yadul-lâh dan Wajhul-lâh yang menurutnya tidak harus digambarkan bahwa Allah memiliki tangan dan wajah.
- Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Al-Asy‘ari sendiri dengan lantang menegaskan kalau kalamullah itu qadîm. Dengan menyodorkan dalil naqlî dan ‘aqlî dalam kitabnya, al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyâgh wa al-bida‘ dan al-Ibânah ‘an Ushûl al-Diyânah.
- Menentang Mu‘tazilah yang berpandangan bahwa manusia bebas melakukan perbuatan yang diinginkannya (Jabariah/Fatalisme). Sedangkan menurutnya, semua perbuatan baik dan buruk bergantung kepada kehendak Allah yang menciptakan semua perbuatan hamba-Nya.
- Menentang Mu‘tazilah yang berpendapat bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak lagi mukmin dan juga bukan orang kafir. Menurut al-Asy‘ari, ia berada di tengah-tengah antara keduanya. Artinya, Ia tetap muslim tapi diancam dengan siksa neraka.
- Dalam pandangan al-Asy‘ari, akal tidak memiliki kedudukan seperti yang diyakini Mu‘tazilah. Kelompok ini berpendapat bahwa kekuatan akal sanggup membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Sedangkan menurutnya, wahyu adalah satu-satunya perangkat untuk mengetahui Allah dan syariat-Nya. Akal hanya berguna untuk mengetahui saja, tidak lebih.[7]
BAB III
KESIMPULAN
Abu
Musa Al-Asy’ari adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam yang masyhur. Beliau -Abul Hasan Al-Asy’ari- Rahimahullah dilahirkan
pada tahun 260 H di Bashrah, Irak. Beliau Rahimahullah dikenal dengan
kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Demikian juga,
beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya. Al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari
wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah meridhoinya dan menempatkannya
dalam keluasan jannahNya.
Imam
Abu Hasan Al-Asy’ari bermadzhab fiqih kepada Madzhab Imam Syafi’i. Demikian
tertulis dalam kitab Al-Habaik Fi Akhbar Al-Malaik karangan Imam Jalaluddin
As-Suyuthi. Dan Ustadz Abu Ishaq dan Abubakar al-Furak dalam kitab “Thabaqat
Mutakallimin”.
Abu
Hasan Al-Asy’ari meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah
dalam berbagai lapangan. Kitabnya yang terkenal ada empat :
1. Maqalat
al-Islamiyyin
2. Al-Ibanah
'an Ushulid Diniyah
3. Kitab
Al-Luma’ Fi al-Raddi ‘ala ahli al-zaighi wal al-bida
4. Risalah Fi
isthisan al-kahaudl fi ilm Kalam
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Teologi Islam,
Jakarta: UI Press. 2012.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam,Bandung : CV Pustaka Setia.
2013.
Ahmad, Nasir Sahilun. Pemikiran kalam,(jakarta : PT Raja
Grafindo. 2010.
Syariah, Group. (http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html)
29 april 2014.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, UI-Press: 2012). Hlm 66.
[2]Abdul rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung,CV Pustaka Setia
:2013). Hlm 147.
[3]Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam,(jakarta, PT Raja Grafindo: 2010) hlm
208-209.
[4]http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html
[5]Sahilun A. Nasir, Pemikiran kalam,(jakarta, PT Raja Grafindo: 2010) hlm
201-212.
[6]Abdul rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung,CV Pustaka Setia
:2013).hlm 147-150.
[7]http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/riwayat-hidup-abu-hasan-al-asyari-serta.html