BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan bagian yang intern dalam kehidupan manusia.
Dan
dimasa Penjajahan Belanda maupun Jepang itu bisa dikatakan sebagai salah satu
pondasi dari
berbagai
macam sistem yang berlaku di Indonesia.
Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan,
perekonomian, maupun pendidikan. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan
Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah perubahan
sistem pendidikan di Indonesia. Sejak awal pendidikan
Islam masih berupa pesantren tradisional hingga modern, mulai dari madrasah
hingga sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai
Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai
perkembangan dan kemajuan yang maksimal.
Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah
satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat
pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat
meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya. Oleh karena itu,
perlulah kita mempelajari perubahan sistem pendidikan di Indonesia baik pada
masa kerajaan islam maupun pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem
pendidikan saat ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Perkembangan pendidikan islam yang ada di Indonesia?
2. Bagaimana
Kebijakan Pemerintah RI terhadap pendidikan islam?
C. Tujuan
1. Mengetahui
tentang Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
2. Mengetahui
kebijakan pemerintah terhadap pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perkembangan pendidikan islam di Indonesia.
Pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya
menjadi tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha,
pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial. Pada masa
Hindu-Budha, pendidikan dikenal dengan istilah "Karsyan",
sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari
keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi.
Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan
dan mandala. Di mana patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa,
bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan.
Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan
mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama
dan nagara.[1]
Pada masa Islam, pendidikan yang ada bisa dikatakan
merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi
antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada sistem
pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu
lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren
tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri. Disini juga akan
menjelaskan berbagai macam kebijakan pendidikan di Indonesia baik dimasa kerajaan
islam, masa colonial maupun kebijakan perintah RI pasca colonial.
1. Zaman
Kerajaan Islam di Aceh
Proses masuknya islam yang pertama
terjadi pada abad ke-7 M. Adapun kerajaan islam yang pertama di Indonesia
adalah kerajaan samudera pasai terletak diwilayah Aceh dan berdiri pada abad
ke-10 M, dengan raja pertama bernama Al-Malik Ibrahim bin Mahdum, kedua bernama
Al-Malik Al- Shaleh, dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (1444 M/abad
ke-15 H).
Pada tahun 1345 H Ibnu Batutah dari
Maroko mengelilingi dunia dan singgah di kerajaan Pasai. Pada zaman Al-Malik
al-Zahir, keadaan kerajaan di kerajaan Pasai itu menurutnya dimana rajanya yang
sangat alim dalam ilmu agama dan bermadzhab syafi’I, mengadakan pengajian
sampai waktu ashar serta fasih dalam berbahasa Arab, dan cara hidupnya yang
sederhana.
Keterangan Ibnu Bathutah tersebut dapat
ditarik pada system pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan samudera pasai
sebagai berikut:
1) Materi
pendidikan dan pengajaran agama dibidang syariat adalah Fiqh Mazhab Syafi’i.
2) System
pendidikannya secara informal berupa majelis taklim dan halaqah.
3) Biaya
pendidikan agama bersumber dari Negara.[2]
2. Kerajaan
Islam di Kalimantan.
Islam mulai masuk pada abad ke-15 damai
yang dibawa oleh para mubaligh dari Jawa. Perkembangan islam mulai mantap
setelah berdirinya kerajaan islam di Bandar Masih dibawah pimpinan Sultan
suriansyah tahun 1540 M bergelar Pangeran Samudera dan dibantu oleh Patih Masih.
Pada tahun 1710 di Kalimantan terdapat
seorang ulama besar bernama Syekh Arsyad Al- Banjari dari desa Kalampayan yang
terkenal sebagai pendidik dan mubaligh besar. Kemudian ia menulis kitab-kitab
agama, diantaranya adalah:
1) Sabilul
Muhtadin
2) Syarah
Fathul Jawad
3) Tuhfatur
Ragibin
4) Ushuludin
5) Tasawuf
6) Al-
Nikah
7) Al-
Faraid.
Pada waktu kecil ia diasuh dan diangkat
oleh Sultan Tahmilillah dan dikirim untuk belajar di Mekkah dan Madinah selama
30 tahun. Kemudian ia wafat pada zaman Sultan Sulaiman. Pada waktu akan pulang
ke Indonesia ia belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Abd.Karim Samman al-Madany.
Sultan Tahmidillah mengangkat Syekh
Arsyad sebagai mufti besar kerajaan Banjar. Ia mendirikan pondok pesantren
dikampung dalam pagar. System pengajian kitab agama di pondok pesantren di
Jawa. Terutama cara-cara menerjemahkannya kedalam bahasa daerah.
3. Kebijakan
Pemerintah Belanda dan Jepang di Bidang pendidikan Islam.
a.
Masa
penjajahan Belanda.
Penaklukan bangsa barat atas dunia Timur
dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Tujuan
bangsa barat adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pun dibidang
pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar hanya
untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah
yang murah dibandingkan mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Ketika Van de Boss menjadi gubernur di
Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja
dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus
pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan ditiap daerah keresidenan
didirikan satu sekolah agama Kristen.
Pada tahun 1819 M, Gubernur Jenderal Van
den Capellen mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi
penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah belanda. Dalam surat edarannya
kepada para bupati tersebut berikut: “ Dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan
menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang
dan hukum Negara”.
Jiwa surat edaran diatas menggambarkan
tujuan daripada didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama
islam yang ada dipondok-pesantren, masjid, mushallah, dan lain sebagainya
dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda. Para santri pondok masih dianggap
buta huruf latin.
Jadi jelas bahwa madrasah pesantren
dianggap tidak berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah sehinggga
disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren atau
pangajian yang ada di desa itu.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda
membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan islam yang disebut Priesterraden.
Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan
peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus meminta ijin
terlebih dahulu.
Kemudian pada tahun 1952 pemerintah
mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam
yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.
Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan
islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhamadiyah, Partai Syarikat Islam,
Al-Irsyad, Nahdatul Wathan, dan lain-lain.
Tahun 1925 M keluar pula peraturan yang
dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi
Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah
munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 M, berupa sumpah
pemuda.[3]
Jika kita melihat peraturan-peraturan
pemerintah belanda yang demikian ketat dan keras mengenai pengawasan , tekanan
dan pemberantasan aktifitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka
seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan islam akan menjadi lumpuh
dan porak poranda. Akan tetapi jiwa islam tetap terpelihara dengan baik. Para
ulama dan kyaibersikap non cooperative dengan belanda. Mereka menyingkir dari
tempat yang dekat dengan belanda serta mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh
belanda dengan berpegang teguh kepada hadist Nabi Muhammad SAW.
b.
Masa
Penjajahan Jepang.
Jepang menjajah Indonesia setelah
mengusir pemerintah Hindia-Belanda dalam Perang Dunia II. Mereka menguasai
Indonesia pada tahun 1942, untuk mendekati umat islam Indonesia mereka menempuh
kebijaksanaan antara lain:
1) Kantor
urusan Agama pada zaman Belanda diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang
dipimpin oleh ulama islam itu sendiri
yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan didaerah-daerah dibentuk Sumuka.
2) Pondok
pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari
pembesar-pembesar Jepang.
3) Sekolah
negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4) Disamping
itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk
memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
5) Pemerintahan
Jepang mengizinkan berdirinya sekolah sekolah tinggi islam di Jakarta.
6) Para
ulama islam bekerjasama dengan pemimpin-pemimpi nasionalis diizinkan membentuk
barisan Pembela Tanah Air (PETA).
7) Umat
islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la
Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[4]
Maksud dari tujuan ini adalah supaya
kekuatan umat islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang asia
Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan
rakyat seperti Heiho, Peta, Keboidan, Senan, dan sebagainya. Dunia pendididikan
secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya disuruh
gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (Romusha), brenyanyi dan sebagainya.
Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan
pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang.
B.
Kebijakan
pemerintah Republik Indonesia di bidang pendidikan Islam.
Ditengah-tengah berkobarnya refolusi fisik,
pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan
pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen
agama dan Departemen P&K ( Dep Dik Bud).
Oleh karena itu maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan
bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama
disekolah-sekolah umum (Negeri dan Swasta). Adapun pembinaan pendidikan agama
di sekolah agama ditanganioleh Departemen Agama sendiri.
Pendidikan Agama Islam untuk sekolah umum mulai
diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu
pendidikan agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak
zaman Jepang. Namun, berjalan sendiri-sendiri didaerah masing-masing.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan
bersama dua Menteri yaitu Menteri Agama dan Mentri Pendidikan dan Pengajaran
yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah
Rakyat= Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Kemudian pemerintah membentuk Majelis
Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947, yang dipimpin oleh Ki
Hajar Dewantoro dari Departemen P&K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari
Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran
agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana Kedaulatan Indonesia telah
pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh
wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang
dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari
Departemen P&K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada
bulan Januari 1951. Isinya ialah:
a. Pendidikan
agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
b. Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan
mulai kelas 1 SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh
berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan
mulai kelas IV.
c. Di
sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas ( Umum dan Kejuruan)
diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
d. Pendidikan
agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan
mendapat izin dari orang tua/walinya.
e. Pengangkatan
guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh
Departemen Agama.[5]
Untuk menyempurnakan kurikulumnya maka
dibentuk panitia yang dipimpin oleh K.H. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor
Ponorogo.
Pendidikan islam di Indonesia mengalami
banyak perubahan sejak awal abad kemerdekaan sampai akhir abad ke-20 dan awal
abad ke-21 ini. Perubahan terjadi meliputi aspek system dan kelembagaan
pendidikan, kurikulum, materi, dan metode pembelajaran. Disamping itu terjadi
perubahan pada system pendidikan yang diterapkan.[6]
Perubahan tersebut antara lain ditandai
oleh perubahan pola dan model pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya
diarahkan pada tafaqquh fiddin, kepada bentuk madrasah ala Indonesia, yaitu
sekolah islam yang memasukan kurikulum umum diluar bidang pengetahuan agama.
Selain itu, juga terjadi perubahan pada kurikulum yang menjadi inti pemikiran
dan transfer ilmu di lembaga pendidikan islam. Berikut ini beberapa contoh
lembaga pendidikan yang ada di Indonesia.
Ø Pesantren; Akar Pendidikan Islam di Indonesia
Pada
dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam
ke Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak
pribadi maupun kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya.
Setelah komunitas muslim daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka
membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid.
Masjid
merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di samping rumah tempat
kediaman ulama’ atau muballigh. Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal,
maka kemudian dirasa perlu untuk memiliki sebuah tempat yang benar-benar
menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran Islam. Untuk itu, muncullah lembaga
pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun surau.
Nama–nama
tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut
ilmu pengetahuan keagamaan. Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang
menjadi pusat pembelajaran Islam setelah keberadaan masjid, senyatanya memiliki
dinamika yang terus berkembang hingga sekarang.
Pesantren
adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren
sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di
tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang
surutnya hingga sekarang.
Menurut
Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam,
disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
a.
Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai
sumber ilmu pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
b.
Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan
oleh Kyai dan diikuti para santri.
c.
Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping
menjadi pusat peribadatan.
d.
Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba
bimbingan Kyai.
e.
Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang
menampung santri selama mereka menuntut ilmu dari Kyai.[7]
Sedangkan
dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan dua
sistem yang umum, yakni:
a.
Sistem “sorongan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri
mendatangi seorang guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya
berbahasa Arab.
b.
Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton.
Dalam sistem ini, sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang
membacakan, menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan
kitab masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.[8]
Kelompok
bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqohyang
arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem
lain yang disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior
yang telah mampu membaca kitab kuning dengan baik.
Hingga
kini, keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika, sejak dari
pesantren tradisional hingga pesantren modern.
Ø Lembaga-lembaga pendidikan Islam setelah Pesantren
Eksistensi
pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam
lainnya, antara lain:
a.
Madrasah
Madrasah
merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren, baik
ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Sebagian lulusan
pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian
Islam di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir.
Lulusan-lulusan
Islam Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian
madrasah-madrasah di Indonesia. Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi
menggunakan sorogan ataupun bandongan, melainkan
lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses
pembelajarannya.
1. Perkembangan
Madrasah di Indonesia
a. Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda
Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan
dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola
respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif,
terhadap pendidikan Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri
terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran
akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering
terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi
dengan alasan ketertiban dan keamanan.
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai
tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah
Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa
dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu
tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.
Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap
pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat
beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan
Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada
masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa
madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi
pendidikan Jepang di Indonesia. Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak
awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi
berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen
Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada
sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang
menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran
umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni
yang disebut dengan Madrasah Diniyah. [7]
Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun
1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2
ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan
pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa
pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada
persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di
luar sistem
pendidikan
nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah
dalam kerangka pendidikan nasional.[8]
b. Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen
agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang
secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha
departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat
islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada
pengembangan madrasah itu sendiri.
Salah satu perkembangan madrasah yang cukup
menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan
guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan
yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga
professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap
mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no
II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta
berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa
pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah
rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid
berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan
keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini
telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan
agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan
departemen pendidikan dan kebbudayaan.[9]
c.
Masa Orde Baru
Pada masa
orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke
dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga
dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975
tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar
pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang
sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum
setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi
umum dan agama.
Pemerintah orde
baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif
tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih
operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa
menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa
Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem
pendidikan
nasional.
d. Masa Sekarang
Era
globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi
perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan
Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak
perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri
dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah
perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.[9]
b.
Sekolah-sekolah Islam
Di
samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah
sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari
madrasah, hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah
adalah bahasa Indonesia.
Namun
demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan sekolah
Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan
sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain
itu,dari segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi
agama dibanding sekolah Islam.[10]
c.
Pendidikan Tinggi Islam
Pendidikan
Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern.
Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam
(STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI
didirikan pada 8 Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan
pada tahun 1948 resmi berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Selanjutnya,
UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian
berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia,
seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di
Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang
(UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya,
Universitas Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dalam
perjalanannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tak luput dari berbagai
dinamika yang ada, seiring dengan perkembangan zaman. Pesantren, dari jenis pesantren tradisional ke
pesantren modern. Madrasah yang semakin memperbaiki kualitasnya dengan berbagai
upaya, salah satunya peningkatan kualitas guru, system pendidikan, serta
kebijakan pemerintah. perguruan tinggi Islam yang dulunya masih berstatus
Sekolah Tinggi, berkembang menjadi Institut hingga akhirnya menjadi
Universitas.
B. Saran.
Semoga apa yang telah di tuliskan oleh pemakalah
dapat dijadikan motivasi dan pembelajaran bersama khususnya bagi pemakalah
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Pulung Septyoko,Pendidikan Masa Kolonial dan Sekarang,
Jurnal Pdf Universitas Gadjah Mada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sosiologi 2008.
Zuhairini
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (PT Bumi
Aksara edisi 1 Cet.10, Jakarta 13220).
Nurhayati
Djamas, DInamika Penddikan Islam
DiIndonesia Pasca Kemerdekaan,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Rajawali Press, 2009).
http://ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/06/makalah-sejarah-pendidikan-islam-di.html
03-12-2016, 11:28
WIB.
http://www.slideshare.net/aisyahasindy/perkembangan-pendidikan-islam-di-indonesia
03/12/2016, 11:32
WIB.
[1] Pulung
Septyoko,Pendidikan Masa Kolonial dan
Sekarang, Jurnal Pdf H.2 Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik sosiologi 2008.
[2]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,
(PT Bumi Aksara edisi 1 Cet.10, Jakarta 13220) H.135-136
[3]
Ibid,. Hal.146-149
[4]
Ibid,.Hal.150-151
[5] Ibid,.hal.154
[6] Nurhayati
Djamas, DInamika Penddikan Islam
DiIndonesia Pasca Kemerdekaan,(PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Rajawali Press, 2009)
Hal.193-194.
[8]
Ibid,.
[9] http://iwanrosadi.blogspot.co.id/2011/06/sejarah-perkembangan-madrasah-di.html