Selasa, 07 November 2017

Sejarah Perkembangan pendidikan islam di Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang intern dalam kehidupan manusia. Dan dimasa Penjajahan Belanda maupun Jepang itu bisa dikatakan sebagai salah satu pondasi dari berbagai macam sistem yang berlaku di Indonesia.
Mulai dari sistem birokrasi pemerintahan, perekonomian, maupun pendidikan. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu hal yang penting untuk dikaji adalah perubahan sistem pendidikan di Indonesia. Sejak  awal pendidikan Islam masih berupa pesantren tradisional hingga modern, mulai dari madrasah hingga sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal.
Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Sistem pendidikan yang baik sedikit banyak akan dapat meningkatkan, apalagi jika dijalankan dengan semestinya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari perubahan sistem pendidikan di Indonesia baik pada masa kerajaan islam maupun pada masa kolonial serta implikasinya pada sistem pendidikan saat ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan pendidikan islam yang ada di Indonesia?
2.      Bagaimana Kebijakan Pemerintah RI terhadap pendidikan islam?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui tentang Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
2.      Mengetahui kebijakan pemerintah terhadap pendidikan islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Perkembangan pendidikan islam di Indonesia.
Pendidikan Indonesia berdasarkan waktu keberadaannya menjadi tiga. Yang pertama adalah pendidikan Indonesia pada masa Hindu-Budha, pendidikan pada masa Islam, dan pendidikan pada zaman kolonial. Pada masa Hindu-Budha, pendidikan dikenal dengan istilah "Karsyan", sebuah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi.
Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Di mana patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan mungkin pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara.[1]
Pada masa Islam, pendidikan yang ada bisa dikatakan merupakan adaptasi dengan sistem pendidikan pada masa Hindu Budha. Adaptasi antara sistem mandala dan uzlah (menyendiri) tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti sistem patapan, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman yang disebut pondok pesantren, dimana pondok pesantren tersebut biasanya jauh dari keramaian dan terkesan menyendiri. Disini juga akan menjelaskan berbagai macam kebijakan pendidikan di Indonesia baik dimasa kerajaan islam, masa colonial maupun kebijakan perintah RI pasca colonial.

1.      Zaman Kerajaan Islam di Aceh
Proses masuknya islam yang pertama terjadi pada abad ke-7 M. Adapun kerajaan islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan samudera pasai terletak diwilayah Aceh dan berdiri pada abad ke-10 M, dengan raja pertama bernama Al-Malik Ibrahim bin Mahdum, kedua bernama Al-Malik Al- Shaleh, dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (1444 M/abad ke-15 H).
Pada tahun 1345 H Ibnu Batutah dari Maroko mengelilingi dunia dan singgah di kerajaan Pasai. Pada zaman Al-Malik al-Zahir, keadaan kerajaan di kerajaan Pasai itu menurutnya dimana rajanya yang sangat alim dalam ilmu agama dan bermadzhab syafi’I, mengadakan pengajian sampai waktu ashar serta fasih dalam berbahasa Arab, dan cara hidupnya yang sederhana.
Keterangan Ibnu Bathutah tersebut dapat ditarik pada system pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan samudera pasai sebagai berikut:
1)      Materi pendidikan dan pengajaran agama dibidang syariat adalah Fiqh Mazhab Syafi’i.
2)      System pendidikannya secara informal berupa majelis taklim dan halaqah.
3)      Biaya pendidikan agama bersumber dari Negara.[2]

2.      Kerajaan Islam di Kalimantan.
Islam mulai masuk pada abad ke-15 damai yang dibawa oleh para mubaligh dari Jawa. Perkembangan islam mulai mantap setelah berdirinya kerajaan islam di Bandar Masih dibawah pimpinan Sultan suriansyah tahun 1540 M bergelar Pangeran Samudera dan dibantu oleh Patih Masih.
Pada tahun 1710 di Kalimantan terdapat seorang ulama besar bernama Syekh Arsyad Al- Banjari dari desa Kalampayan yang terkenal sebagai pendidik dan mubaligh besar. Kemudian ia menulis kitab-kitab agama, diantaranya adalah:
1)      Sabilul Muhtadin
2)      Syarah Fathul Jawad
3)      Tuhfatur Ragibin
4)      Ushuludin
5)      Tasawuf
6)      Al- Nikah
7)      Al- Faraid.
Pada waktu kecil ia diasuh dan diangkat oleh Sultan Tahmilillah dan dikirim untuk belajar di Mekkah dan Madinah selama 30 tahun. Kemudian ia wafat pada zaman Sultan Sulaiman. Pada waktu akan pulang ke Indonesia ia belajar ilmu tasawuf kepada Syekh Abd.Karim Samman al-Madany.
Sultan Tahmidillah mengangkat Syekh Arsyad sebagai mufti besar kerajaan Banjar. Ia mendirikan pondok pesantren dikampung dalam pagar. System pengajian kitab agama di pondok pesantren di Jawa. Terutama cara-cara menerjemahkannya kedalam bahasa daerah.  
3.      Kebijakan Pemerintah Belanda dan Jepang di Bidang pendidikan Islam.
a.      Masa penjajahan Belanda.
Penaklukan bangsa barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Tujuan bangsa barat adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Begitu pun dibidang pendidikan. Mereka memperkenalkan system dan metode baru tetapi sekedar hanya untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat.
Ketika Van de Boss menjadi gubernur di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan ditiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Pada tahun 1819 M, Gubernur Jenderal Van den Capellen mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah belanda. Dalam surat edarannya kepada para bupati tersebut berikut: “ Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum Negara”.
Jiwa surat edaran diatas menggambarkan tujuan daripada didirikannya sekolah dasar pada zaman itu. Pendidikan agama islam yang ada dipondok-pesantren, masjid, mushallah, dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda. Para santri pondok masih dianggap buta huruf latin.
Jadi jelas bahwa madrasah pesantren dianggap tidak berguna. Dan tingkat sekolah pribumi adalah rendah sehinggga disebut sekolah desa, dan dimaksudkan untuk menandingi madrasah, pesantren atau pangajian yang ada di desa itu.
Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan islam yang disebut Priesterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran harus meminta ijin terlebih dahulu.
Kemudian pada tahun 1952 pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhamadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Wathan, dan lain-lain.
Tahun 1925 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 M, berupa sumpah pemuda.[3]
Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah belanda yang demikian ketat dan keras mengenai pengawasan , tekanan dan pemberantasan aktifitas madrasah dan pondok pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama, pendidikan islam akan menjadi lumpuh dan porak poranda. Akan tetapi jiwa islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama dan kyaibersikap non cooperative dengan belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan belanda serta mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh belanda dengan berpegang teguh kepada hadist Nabi Muhammad SAW.
b.      Masa Penjajahan Jepang.
Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia-Belanda dalam Perang Dunia II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, untuk mendekati umat islam Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain:
1)      Kantor urusan Agama pada zaman Belanda diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama  islam itu sendiri yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan didaerah-daerah dibentuk Sumuka.
2)      Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
3)      Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4)      Disamping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
5)      Pemerintahan Jepang mengizinkan berdirinya sekolah sekolah tinggi islam di Jakarta.
6)      Para ulama islam bekerjasama dengan pemimpin-pemimpi nasionalis diizinkan membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA).
7)      Umat islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[4]
Maksud dari tujuan ini adalah supaya kekuatan umat islam dan nasionalis dapat dibina untuk kepentingan perang asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang.
Jepang membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti Heiho, Peta, Keboidan, Senan, dan sebagainya. Dunia pendididikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (Romusha), brenyanyi dan sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pesantren yang bebas dari pengawasan langsung pemerintah jepang.

B.     Kebijakan pemerintah Republik Indonesia di bidang pendidikan Islam.
Ditengah-tengah berkobarnya refolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen agama dan Departemen P&K ( Dep Dik Bud).
Oleh karena itu maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama disekolah-sekolah umum (Negeri dan Swasta). Adapun pembinaan pendidikan agama di sekolah agama ditanganioleh Departemen Agama sendiri.
Pendidikan Agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. Sebelum itu pendidikan agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang. Namun, berjalan sendiri-sendiri didaerah masing-masing.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri yaitu Menteri Agama dan Mentri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat= Sekolah Dasar) sampai kelas VI. Kemudian pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947, yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dari Departemen P&K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana Kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin oleh Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P&K. Hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951. Isinya ialah:
a.       Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar).
b.      Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama diberikan mulai kelas 1 SR dengan catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai kelas IV.
c.       Di sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas ( Umum dan Kejuruan) diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.
d.      Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua/walinya.
e.       Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.[5]
Untuk menyempurnakan kurikulumnya maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh K.H. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor Ponorogo.
Pendidikan islam di Indonesia mengalami banyak perubahan sejak awal abad kemerdekaan sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini. Perubahan terjadi meliputi aspek system dan kelembagaan pendidikan, kurikulum, materi, dan metode pembelajaran. Disamping itu terjadi perubahan pada system pendidikan yang diterapkan.[6]
Perubahan tersebut antara lain ditandai oleh perubahan pola dan model pendidikan pesantren salafiyah yang sepenuhnya diarahkan pada tafaqquh fiddin, kepada bentuk madrasah ala Indonesia, yaitu sekolah islam yang memasukan kurikulum umum diluar bidang pengetahuan agama. Selain itu, juga terjadi perubahan pada kurikulum yang menjadi inti pemikiran dan transfer ilmu di lembaga pendidikan islam. Berikut ini beberapa contoh lembaga pendidikan yang ada di Indonesia.    
Ø  Pesantren; Akar Pendidikan Islam di Indonesia
Pada dasarnya, pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada tahap awal, pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif antara muballigh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim daerah terbentuk di suatu daerah tersebut, mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid.
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul, di samping rumah tempat kediaman ulama’ atau muballigh. Setelah penggunaan masjid sudah cukup optimal, maka kemudian dirasa perlu untuk memiliki sebuah tempat yang benar-benar menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran Islam. Untuk itu, muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah ataupun surau.
Nama–nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai tempat menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Pesantren sebagai akar pendidikan Islam, yang menjadi pusat pembelajaran Islam setelah keberadaan masjid, senyatanya memiliki dinamika yang terus berkembang hingga sekarang.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren sejatinya telah berkiprah di Indonesia sebagai pranata kependidikan Islam di tengah-tengah masyarakat sejak abad ke-13 M, kemudian berlanjut dengan pasang surutnya hingga sekarang.
Menurut Muhammad Tolhah Hasan dalam bukunya Dinamika Tentang Pendidikan Islam, disebutkan bahwa komponen-komponen yang ada dalam pesantren antara lain:
a.      Kyai, sebagai figur sentral dan dominan dalam pesantren, sebagai sumber ilmu pengetahuan sekaligus sumber tata nilai.
b.      Pengajian kitab-kitab agama (kitab kuning), yang disampaikan oleh Kyai dan diikuti para santri.
c.       Masjid, yang berfungsi sebagai tempat kegiatan pengajian, disamping menjadi pusat peribadatan.
d.       Santri, sebagai pencari ilmu (agama) dan pendamba bimbingan Kyai.
e.        Pondok, sebagai tempat tinggal santri yang menampung santri selama mereka menuntut ilmu dari Kyai.[7]
Sedangkan dalam proses pembelajaran dan proses pendidikan, di pesantren menggunakan dua sistem yang umum, yakni:
a.       Sistem “sorongan” yang sifatnya individual, yakni seorang santri mendatangi seorang guru yang akan mengajarkan kitab tertentu, yang umumnya berbahasa Arab.
b.      Sistem “bandongan” yang sering disebut dengan sistem weton. Dalam sistem ini, sekelompok santri mendengarkan dan menyimak seorang guru yang membacakan, menerjemahkan dan mengulas kitab-kitab kuning. Setiap santri memperhatikan kitab masing-masing dan membuat catatan yang dirasa perlu.[8]
Kelompok bandongan ini jika jumlahnya tidak terlalu banyak, maka disebut dengan halaqohyang arti asalnya adalah lingkaran. Di pesantren-pesantren besar, ada lagi sistem lain yang disebut musyawarah, yang diikuti santri-santri senior yang telah mampu membaca kitab kuning dengan baik.
Hingga kini, keberadaan pesantren telah mengalami berbagai dinamika, sejak dari pesantren tradisional hingga pesantren modern.

Ø  Lembaga-lembaga pendidikan Islam setelah Pesantren
Eksistensi pesantren senyatanya mendorong lahirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya, antara lain:
a.       Madrasah
Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lebih modern dibanding pesantren, baik ditinjau dari sisi metodologi maupun kurikulum pengajarannya. Sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan Mesir.
Lulusan-lulusan Islam Timur Tengah itulah yang kemudian akhirnya menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia. Dalam madrasah, sistem pembelajaran tidak lagi menggunakan sorogan ataupun bandongan, melainkan lebih modern lagi. Madrasah telah mengaplikasikan sistem kelas dalam proses pembelajarannya.
1. Perkembangan Madrasah di Indonesia
a.      Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif, terhadap pendidikan Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.
 Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia. Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah. [7]

Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem
pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.[8]

b.      Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
 Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebbudayaan.[9]
c.       Masa Orde Baru
Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
 Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem
pendidikan nasional.

d.      Masa Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.[9]

b.      Sekolah-sekolah Islam
Di samping madrasah, lembaga pendidikan Islam yang berkembang hingga sekarang adalah sekolah-sekolah Islam. Pada dasarnya, kata sekolah merupakan terjemah dari madrasah, hanya saja madrasah adalah kosa kata bahasa Arab, sedangkan sekolah adalah bahasa Indonesia.
Namun demikian, pada aplikasinya terdapat perbedaan antara madrasah dan sekolah Islam. Madrasah berada dalam naungan Kementrian Agama (Kemenag), sedangkan sekolah Islam pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Selain itu,dari segi bobot muatan materi keagamaannya, madrasah lebih banyak materi agama dibanding sekolah Islam.[10]

c.       Pendidikan Tinggi Islam
Pendidikan Tinggi Islam juga merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang modern. Dalam sejarah, pendidikan tinggi Islam yang tertua adalah Sekolah Tinggi Islam (STI), yang menjadi cikal bakal pendidikan tinggi Islam selanjutnya. STI didirikan pada 8 Juli 1945 di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Yogyakarta, dan pada tahun 1948 resmi berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Selanjutnya, UII merupakan bibit utama dari perguruan-perguruan tinggi swasta yang kemudian berkembang menjadi beberapa Universitas Islam yang populer di Indonesia, seperti misalnya Universitas Ibn Kholdun di Bogor, Universitas Muhammadiyah di Surakarta, Universitas Islam Sultan Agung di Semarang, Universitas Islam Malang (UNISMA) di Malang, Universitas Islam Sunan Giri (UNSURI) di Surabaya, Universitas Darul ‘Ulum (UNDAR) di Jombang dan lain-lain.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan.
Dalam perjalanannya, lembaga-lembaga pendidikan Islam tak luput dari berbagai dinamika yang ada, seiring dengan perkembangan zaman.  Pesantren, dari jenis pesantren tradisional ke pesantren modern. Madrasah yang semakin memperbaiki kualitasnya dengan berbagai upaya, salah satunya peningkatan kualitas guru, system pendidikan, serta kebijakan pemerintah. perguruan tinggi Islam yang dulunya masih berstatus Sekolah Tinggi, berkembang menjadi Institut hingga akhirnya menjadi Universitas.

B.     Saran.
Semoga apa yang telah di tuliskan oleh pemakalah dapat dijadikan motivasi dan pembelajaran bersama khususnya bagi pemakalah sendiri.













DAFTAR PUSTAKA
Pulung Septyoko,Pendidikan Masa Kolonial dan Sekarang, Jurnal Pdf  Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sosiologi 2008.

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (PT Bumi Aksara edisi 1 Cet.10, Jakarta 13220).
Nurhayati Djamas, DInamika Penddikan Islam DiIndonesia Pasca Kemerdekaan,(PT Raja Grafindo  Persada, Jakarta Rajawali Press, 2009).


[1] Pulung Septyoko,Pendidikan Masa Kolonial dan Sekarang, Jurnal Pdf H.2 Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sosiologi 2008.
[2] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (PT Bumi Aksara edisi 1 Cet.10, Jakarta 13220) H.135-136
[3] Ibid,. Hal.146-149
[4] Ibid,.Hal.150-151
[5] Ibid,.hal.154
[6] Nurhayati Djamas, DInamika Penddikan Islam DiIndonesia Pasca Kemerdekaan,(PT Raja Grafindo  Persada, Jakarta Rajawali Press, 2009) Hal.193-194.
[8] Ibid,.



[9] http://iwanrosadi.blogspot.co.id/2011/06/sejarah-perkembangan-madrasah-di.html