BAB I
pendahuluan
1.
Latar
belakang
Mayoritas ulama
berpandangan bahwa hadis dari segi kualitas dibagi menjadi tiga macam (sahih,
hasan, dha’if) telah dimulai sejak al-tirmidzi. Sebelumnya, ulama hadis hanya
mengklaisifikasikan hadis kepada dua kategori, yaitu hadis shaih dan hadis
dha’if. Hadis dhoif dibagi menjadi dua , yaiutu hadis daif matruk . dalam hal
ini jumhur ulama sepakat menolak kehujahannya. Kedua hadis daif laisa bihi
matruk. Jenis hadis inilah yang oleh al-tirmidzi disebut denagn hadis.
Berkaitan
dengan kitab sunan an-nasa’i, melihat kepada kualitas hadis yang diriwayatkan ,
ada ulama yang berpendapat bahwa kualitas kitabnya melebihi kitab sahih muslim
seperti ynag dikemukakan oleh al-hafidz Abu ali. Ia memberikan komentar bahawa
persyaratan yang dibuat oleh imam an-nasa’i bagi para perawi hadis jauh lebih
ketat jika dibandingkan dengan persyaratan yang dibuat oleh imam muslim. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang kitab hadis ini, maka dalam tulisan ini ,
penulis mencuba untuk menguraikan isi kitab tersebut.
Salah satu
kitab hadis hasil kodifikasi ulama mutaqaddimin, sunan ibnu majjah. Kitab ini
menarik untuk dikaji karena sebelum muncul ulama ibn tahir al-maqdisi
keberadaannya tidak diperhitungkan. Agar pembahasan tidak meluas dan mendalam maka
kajian ini akan kami bahas dibawah ini.
2.
BAB II
Pembahasan
A.
At-Tirmidzi
(209-279)
1.
Biografi
Nama
lengkapnya adalah Imam Al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin
Musa bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tarmidzi. Ia adalah seorang ahli
hadis kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang mansyhur. Ia lahir pada 209 H
di kota Tirmiz.
Semenjak
kecil, Abu Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadis.untuk keperluan
inilah, ia mengembara ke berbagai negeri, yaitu Hijaz, Irak, Khurasan, dan
lain-lain. Ia banyak mengunjungi ulama
besar dan guru hadis untuk mendengar hadis, kemudian menghapalkan dan
mencatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia pun
tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru dalam perjalanan menuju
Mekah.
Setelah
menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi, bertukar
pikiran, dan mengarang, pada akhir hidupnya ia mendapatkan musibah kebutaan.
Beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tunanetra. Hingga pada akhirnya ia pun
meninggal dunia, ia wafat di Tirmidz pada malam senin 13 Rajab tahun 279 H (8
Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
Ia
belajar dan meriwayatkan hadis dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya kepada
Imam Bukhari, ia mempelajari hadis dan fiqh. Ia juga belajar kepada Imam Muslim
dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadis dari sebagian guru mereka.
Guru
lainnya adalah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan,
Said bin ‘Abdur Rahman, Muhamad bin Basysyar, Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni,
Muhammad bin Ali Musanna, dan lain-lain.Hadis-hadis dan ilmu-ilmunya dipelajari
dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya adalah Makhul bin Al-Fadl,
Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Ai’bd bin Muhammad An-Nasfiyyun,
Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, dan lain-lain.
Abu
Isa At-Tarmidzi diakui keahliannya oleh para ulama dalamhadis, kesalehan dan
ketakwaanya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercayai, amanah,
dan sangat teliti. Para ulama besar
telah memuji dan menyanjungnya, serta mengakui kemuliaan dan keilmuannya.
Muhammad bin Hibban, kritikus hadis, menggolongkan Tirmidzi ke dalam kelompok ‘Tsiqat’
atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hapalannya.[1]
Dikalangan
kritikus hadis, integritas pribadi dan kapasitas intelektual al-tirmidzi tidak
diragukan lagi . hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan mereka sebagai
berikut :
·
Dalam
kitab al-siqat, ibn hibban menerangkan bahwa al-tirmidzi adalah seorang
penghimpun dan penyampai hadis, sekaligus pengarang kitab.
·
Al-hakim
abu ahmad berkata, aku mendengar i’mran bin ‘lan berkata,”sepeninggal bukhari
tidak ada ulama yang menyamai ilmunya, ke-wara’annya dna kezuhudannya di
khurasan, kecuali Abu isa al-tirmidzi.
·
Ibn
fadhil menjelaskan, bahwa al-tirmidzi adalah pengarang kitab jami’ dan
tafsirnya , dia juga ulama yang paling berpengetahuan.
2.
Karya
Kesungguhan al-tirmidzi dalam menggali hadis dan ilmu pengetahuan,
tercermin dalam karya-karyanya. Diantara karya al-tirmidzi yang paling
monumental adalah kitab Al-jami’ al-sahihatau sunan al-tirmidzi, sementara
kitab-kitab yang lain seperti al-zuhud dan al-asma’wa al-kunakurang
begitu dikenal dikalangan masyarakat umum.
Isi kitab al-jami’ al-sahih ini memuat berbagai permasalahan
pokok agama, diantaranya akidah, adab, tafsir Al-qur’an, sejarah dan jihad
Nabi, tabi’it, fitnah, dan al-manaqib wa al-masalib.
Secara keseluruhan kitab al-jami’al-sahih atau sunan al-tirmidzi
ini terdiri dari 5 juz, 2376 bab dan 3956 hadis.
Menurut al-tirmidzi, isi hadis-hadis dalam al-jami’ al-sahih telah
diamalkan ulama Hijaz, Irak, Khurasan dan daerah lain, kecuali dua hadis, yaitu
:
“sesungguhnya Rasulullah menjama’ shalat zuhur dengan ashar dan
maghrib dengan isya , tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan dan tidak pula
karena hujan “ dan yang ke dua :
“Apabila seseorang meminum khamr, maka deralah ia, dan jika ia
kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”
Hadis ini diperselisihkan ulama baik dari segi sanad maupun dari
segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak
dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun akal.
Menurut al-hafiz Abu fadil bin tahir al-maqdisi (w.507 H) ada empat
syarat yang ditetapkan oleh al-tarmidzi sebagai standarisai periwayatan hadis
,yaitu :
ü Hadis-hadis yang yang sudah disepakati kesahihannya oleh Bukhari
dan Muslim.
ü Hadis-hadis yang sahih menurut standar kesahihan abu dawud dan
al-nasa’i, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk
meninggalkannnya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak
mursal.
ü Hadis-hadis yang tidak dipastikan kesahihannya dengan menjelaskan
sebab-sebab kelemahannya.
ü Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha, baik hadis tersebut sahih
atau tidak. Tentu saja ketidak sahihannnya tidak sampai pada tingkat daif
matruk.[2]
Imam
Tirmidzi, disamping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadis yang mengetahui
kelemahan-kelemahan dari rawi-rawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqih yang
mewakili wawasan dan pandangan luas. Imam Tirmidzi oun banyak menulis kitab,
diantaranya Al-jami’ Al-Mukhtashar min As-Sunan ‘an Rasul Allah, terkenal dengan Sunan
At-Tiridzi, Tawarikh, Al-‘ilal, At-Tarikh, Al-‘ilal Al-Kabir, Asy-Syama’il
An-Nabawiyyah, Az-Zuhd, Asma’ Ash-Shahabah, Al-Asma’ wal-Kunya, Al-Atsar Al-Mauqufah.
Diantara kitab-kitab tersebut yang paliang besar, dan terkenal serta beredar
luas adalah Al-jami’.
B.
Ibn
Majah (207-273)
Ibnu
Majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari kota Qazwin, salah satu kota
di Iran. Nama lengkapnya yang terkenal dengan sebutan neneknya ini adalah Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i Al-Qazwini Ibnu Majah. Ia dilahirkan di Qazwin
pada tahun 207 H (824 M). Ia wafat pada hari selasa , bulan Ramadhan tahun 273
H (887 M).
Ibn
majjah hidup pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa pemerintahan
khalifah al-makmun (198 H/ 813 M). Sampai akhir pemerintahan khalifah
al-muqtadir (295 H/908 M). Beliau meninggal dalam 74 tahun, usia tepatnya pada
hari selasa tanggal 22 ramadhan tahun 273 H.
Di
bandingkan dengan kitab-kitab hadis lain, sunan ibn majjah ini memiliki
kelebihan-kelebihan. Keunggulan kitab tersebut adalah terletak pada cara
pengemasannya. Pengemasan seperti ini akan dapat mempermudah seseorang untuk
mencari hadis. Keunggulan lain kitab ini adalah memuat hadis-hadis yang tidak
ditemukan dalam kutub al-khamsah. Oleh
karena itu, hadis-hadis tersebut dapat dijadikan informasi tambahan dan dapat
dijadikan ladang penelitian.
Dibalik
keunggulan diatas, ternyata terdapat juga kelemahannya. Kelemahannya adalah
minimnya informasi atas hadis-hadis yang dinilai da’if dan maudu’.
Selain itu perlu penelitian lebih jauh atas hadis-hadis yang dinilai daif.
Kitab
sunan ibn majjah masih diperselisihkan keberadaannya dalam kutub al-sittah oleh
ulama. Ibn Tahi al-maqdisi adalah ulama yang pertamakali memasukkan kitab sunan
ibn majjah dalam kutub al-sittah. Pendapat tersebut diikutioleh ulama
lain ketika memberikan komentar terhadap ibn majjah seperti ibn hajar
al-asqalani, al-mizzi, dan al-zahabi. Mereka menilai berdasarkan komentar abu
zur’ah yang mengatakan bahwa kitab ini telah berada diantara orang banyak
niscaya mereka akan beristirahat untuk membacanya. Mereka juga memuji terhadap
sosok pengarangnya, ibn majjah yang dinilai seorang yang hafiz dan mempunyai
pengetahuan yng luas. Di samping itu adanya hadis-hadis lain yang tidak
ditemukan didalam kitab hadis sebelumnya (kutub al-khamsah) yang disebut
dengan istilah zawa’id.
Berdasarkan
hal tersebut, kitab sunan ibn majjah merupakan kitab yang mempunyai ciri khas
tersendiri dengan adanya hadis-hadis yang tidak dijumpai dalam lima kitab
sebelumnya. Hal ini patut dihargai dengan banyak ragam hadis yang diumat
didalamnya bukan berarti kitab hadis ini menjadi rendah martabatnya melainkan
hal tersebut dapat dijadikan lahan untuk penelitian lebih lanjut.
Kitab
sunan ibn majah didalamnya dibagi dalam beberapa kitab dan setiap kitabnya
masih terbagi daam beberapa bab. Jumlah hadis secara keseluruhan adlah 4341
buah yang terbagi dalam 37 kitab dan 1515 bab. Jumlah tersebut merupakan hasil perhitungan akhi yang dilakukan oleh
muhammad fuad abd al-baqi.[3]
Ia
berkeliling di beberapa negeri untuk menemui dan berguru hadis kepada para
ulama hadis. Dari tempat perantauannya itu, ia bertemu dengan murid-murid Imam
Malik dan Al-Laits, dan dari merekalah , ia banyak memperoleh hadis.
Ibn
Majah menyusun kitab Sunan yang kemudian terkenaldengan nama Sunan Ibnu Majah.
Sunan ini merupakan salah satu sunan yang empat. Dalam sunan ini banyak
terdapat hadis dhaif, bahkan tidak sedikit hadis yang munkar. Al-Hafidh Al-Muzy
berpendapat bahwa hadis-hadis gharib yang terdapat dalam Sunan ini kebanyakan
adalah dhaif. Karena itulah, para ulama mutaqaddimin memandang bahwa kitab
Muwaththa Imam Malik menduduki pokok kelima. Bukan Sunan Ibnu Majah.
Selama
hidupnya, Ibnu Majah menghasilkan karya, di antaranya Tafsir Al-Qur’an
Al-Karim, At-Tarikh, dan Sunan Ibnu Majah.[4]
Dari
tempat perantauannya itu, beliau bertemu dengan murid-murid imam malik dan
Al-laits, dan dari beliau-beliau inilah beliau banyak memperoleh hadits-hadits.
Hadis-hadis beliau banyak diriwayatkan oleh orang banyak.[5]
C.
Imam
An-Nasa’i (215-303 H)
Nama
lengkapnya adalah Abu Abdurahman Ahmad Ibn Syu’aib bin Ali ibn Abi Bakar ibn
Sinan An-Nasa’i. Ia terkenal dengan nama An-Nasa’i karena dinisbatkan dengan
kota Nasa’i, salah satu kota di Khurasan. Ia dilahirkan pada tahun 215 Hijriah
demikian menurut Adz-Dzahabi, dan meninggal dunia pada hari senin tanggal 13
Shafar 303 Hijriah di Palistina, kemudian dikuburkan di Baitul Maqdis.
Imam
An-Nisa’i menerima hadis dari Sa’id, Ishaq bin Rawahih, dan ulama-ulama lainnya
dari kalangan tokoh ulama ahli hadis diKhaurasan, Hijaz, Irak, Mesir, Syam, dan
Jazariah Arab. Menurut para ulama ahli
hadis, Imam An-Nasa’i lebih kuat hapalannya dari pada dari Imam Muslim dan
kitab Sunan An-Nasa’i lebih sedikit hadis dhaif-nya (lemah) setelah hadis sahih
Bukhari dan shahih Muslim.
Para
gurunya yang namanya tercatat oleh pena sejarah antara lain Qutaibah bin Sa’id,
Ishaq bin Ibrahim, Ishaq bin Rahawaih, Al-Harits bin Miskin, Ali bin Kasyram,
Imam Abu Daud (penyusun Sunan Abi Daud), dan Imam Abu Isa At-Tirmidzi (penyusun
Al-Jami’ atau Sunan At-Tirmidzi) sementara murid-muridnya yang setia
mendengarkan fatwa-fatwa dan ceramah-ceramah Imam An-Nasa’i, antara lain Abu
Al-Qasim At-Thabarani, Abu Ja’far At-Thahawi, Al-Hasan bin Al-Khadir As-Suyuti,
Muhammad bin Muawiyah bin Al-Andalusi, Abu Nashr Al-Dalaby, dan Abu Bakr bin
Ahmad As-Sunni.
Karangan-karangn
Imam An-NaSa’i yang sampai kepada kita dan telah diabadikan antara lain
As-Sunan Al-Kubra, As-Sunan Al-Sughra, Al-Khashais, Fadhail Ash-Shahabah, dan
Al-Manasik. Menurut sebuah keterangan yang diberikan oleh imam Ibn Al-Asir,
Al-Jazairi dalam kitabnya. Jami Al-Ushul, kitab ini disusun berdasarkan pandangan-pandangan fiqh madzhab
Syafi’i.
Untuk
pertama kali, sebelum disebut dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini dikenal Asunan
Al-Kubro. Setelah tuntas menulis kitab ini, ia kemudian menghadiahkan kitab ini
kepada Amr Ramlah (Walikota Ramlah) sebagai tanda penghormatan. Amir kemudian
bertanya kepada An-Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi kitab shahih?”
ia menjawab dengan kejujuran, “Ada yang shahih, Hasan, dan ada pula yang hampir
serupa dengannya.”
Amir
berkata kembali, “kalo demikian halnya, pisahkan hadis yang shahih-shahih
saja.” Atas permintaan Amir ini, An-Nasa’i menyeleksi dengan ketat semua hadis
yang telah tertuang dalam kitab Al-Sunah Al-Kubro. Akhirnya, ia berhasil
melakukan perantingan terhadap Asunan
Al-Kubro sehingga menjadi Asunan Al-Sugra. Dari segi penamaan saja, sudah bisa
dinilai bahwa kitab yang kedua merupakan bentuk perampingan dari kitab yang
pertama.
Imam
An-Nasa’i sangat teliti dalam menyeleksi hadis-hadis yang termuat dalam kitab
pertama. Oleh karena itu, banyak ulama berkomentar, “kedudukan kitab As-Sunan
Al-Sugro dibawah derajat shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Didua kitab
terakhir, sedikit sekali hadis dhaif yang terdapat didalamnya.” Karena
hadis-hadis yang termuat dalam kitab kedua merupakan hadis-hadis pilihan yang
telah diseleksi dengan ketat, kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba. Pengertian
Al-Mujtaba bersinonim dengan Al-Maukhtar (yang terpilih karena memanng kitab
ini berisi hadis-hadis pilihan hasil seleksi dari kitab Al-Sunan Al-Kubro.
Setahun
menjelang wafat, Imam An-Nasa’i pindah dari Mesir ke Damsyit tampaknya, tidak
ada konsensus ulama tentang tempat
meninggalnya. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i wafat di Mekah dan
dikebumikan diantara Safa dan Marwah. Pendapat senada dikemukakan oleh Abdullah
bin Mandah dari Hamzah Al-‘Uqbi Al-Mishri.
Sementara
ulama lain, seperti Imam Al-Dzahabi menolak pendapat tersebut. Ia mengatakan,
Imam An-Nasa’i meninggal di Ramlah, suatu daerah di Palestina. Pendapat ini di
dukung oleh Ibnu Yunus, Abu Jafar At-Thahawi dan Abu Bakar Al-Naqatah. Menurut
pandangan terakhir ini, Imam An-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H/ 915 M dan di
kebumikan di Bait Al-Maqdis di Palistina.
Imam
An-Nasa’i menyusun banyak karya, diantaranya As-Sunan Al-Kubro, Al-Sunan
Al-Mujtaba, Kitab At-Tamyiz, Kitab Adh-Dhu’afa, Khasa’is Ali, Musnad Malik,
Manasik Al-Hajj, dan Tafsir.[6]
KESIMPULAN
BAB III
Al-tirmidzi
adalah seoarng pakar hadis yang konsisten dengan keilmuannya, sehingga
mayoritas ulama menilaipositif kepakaran al-tirnidzi dalam bidang hadis,
kecuali ibn hamz. Kitab Al-jami’ al-sahih atau sunan at-tirmidzi di tulis pada
abad ke-3 H, Kitab al-tirmidzi ini memuat seluruh hadist kecuali hadis yang
santant dhaif dan munkar, adanya penjelasan tentang kualitas dan keadaan
hadisnya, melalui kitab ini at-tirmidzi memperkenalkan istilah hadis hasan.
Walaupun
sunan ibn majjah di tulis pada masa sesudah gerakan awal pembukuan hadis, kitab
ini menghimpun berbagai macam hadis, baik sahih maupun yang tidak sahih. Oleh
karena itu, dikalangan ulama menempatkan posisi kitab tersebut dalam kutub
al-sittah ditingkatan terahir sebelum sahih bukhari, sahih muslim, sunan abu
dawud, sunan al-nasa’i dan sunan at-tirmidzi. Penilaian ulama atas kitab sunan
ibn majjah beragam ada yang menilai positif dan negatif. Namun, hal-hal yang
diperselisihkan ulama hanya hanya pada masalah hadis Zawa’id.
Al-nasa’i
mengarang kitab, diantaranya yang terkenal adalah kitab sunan al-nasa’i yang
merupakan ringkasan dari kitab beliau sebelumnya yaitu sunan Al-kubra, yang
isinya belum diseleksi dari hadis yang daif. Sebagai ringkasan dari kitab
sebelumnya, maka dalam kitab sunan al-nasa’i ini hanya memilih hadis yang berkualitas
sahih, hasan dan sangat sedikit yang berkualitas daif. Dalam meriwayatkan
hadis, al-nasa’i dikenal sangat ketat dalam penerimaan riwayat hadis. Atas
dasar ini maka ada sebagian ulama ada yang menempatkan kitab sunannya diatas
kitab sahih muslim.
Daftar Pustaka
Abdurrahman M.
2003. Kitab-kitab Hadis. Yogyakarta : teras.
Agus solahudin dan agus suyadi. 2008.Ulumul
Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.
Fatchur Rohman. 1991. Mushthalahul hadits. Bandung
: PT Alma’arif.
[1]Agus solahudin dan agus suyadi. Ulumul Hadis.(Bandung : CV
Pustaka Setia, 2008) hlm 243-245.
[2] M. Abdurrahman. Kitab-kitab Hadis,(Yogyakarta : Teras, 2003)
hlm 107-115.
[3] M. Abdurrahman. Kitab-kitab Hadis,(Yogyakarta : Teras, 2003)
hlm 106-174.
[4] Agus solahudin dan agus suyadi. Ulumul Hadis.(Bandung : CV
Pustaka Setia, 2008)hlm 246-247.
[5]Fatchur Rohman. Mushthalahul hadits. (Bandung : PT Alma’arif,
1991) hlm 335.
[6]Agus solahudin dan agus suyadi. Ulumul Hadis.(Bandung : CV
Pustaka Setia, 2008)hlm 235-240.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar