BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian pujangga
Pujangga
keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang
yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh
julukan Empu (Linus Suryadi A.G, 1995). Empu adalah 1) gelar kehormatan yang
berarti ‘tuan’, 2) seorang ahli, terutama ahli membuat keris (Poerwadarminta,
2007). Tapi maksud dari empu dalam
pembahasan ini lebih mengacu kepada empu
sebagai ‘tuan’. Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana,
ahli bahasa, dan penyair (Gericke-Roorda, jilid 2, 1901). Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir,
ahli sastra dan bahasa (Poerwadarminta, 2007).
Dilihat
dari definisi di atas, secara umum dapatlah kita sebut bahwa pujangga adalah
istilah yang gunakan sebagai sebutan untuk seorang penulis karya sastra pada
masa atau zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, seperti mpu (atau empu) Tantular dan mpu Panuluh. Bahkan, pujangga tidak
hanya dikenal pada masa Jawa-Hindu dan Jawa-Budha saja, tetapi juga sampai pada
zaman Jawa-Islam yaitu, seperti R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan salah satu
pujangga atau penulis karya sastra Jawa yang dikenal pada zaman Jawa-Islam.[1]
Kemudian kita kenal pula Babad Gianti yang panjang itu, yang
ditulis oleh pujangga Jawa yang termasyhur, Raden Ngabehi Jasa dipura. Buku ini
menceritakan peperangan antara Surakarta dan Yogyakarta, dan pengalaman
mangkubumi, pangeran Mangkunegara I (1757-1796). Balai pustaka menerbitkan
edisi yang bagus dari naskah ini, lengkap dengan daftar namadan peta (Batavia
centrum, 1937-1939). Buku ini dapat menjadi sumberpenting tentang zaman itu, disamping
dokumen-dokumen Belanda.[2]
2.2 Syarat- Syarat Pujangga dan Tugasnya
Dalam manuskrip yang disusun oleh Padmawarsita diterangkan bahwa
seorang pujangga harus memilki kemampuan nawungkridha dan sambegan.
nawungkridha
yang berarti waskitha atau mengetahui rahasia
segala sesuatu dengan ketajaman pandangan batinnya. Sedangkan
Sambegan
artinya kuat ingatan. Kedua kemampuan ini tidak dapat dicapai dengan belajar
melainkan berhubungan dengan wahyu.[3] Seorang
pujangga dalam sastra pewayangan biasanya memimpin sebuah padepokan atau
pertapaan. Misalnya seperti pertapaan Kendhalisada, Pertapaan Talkanda dan
pertapaan sukalima. Dimata masyarakat pujangga dikenal dengan eksistensinya
yang sangat berwibawa dan berpengaruh, karena dapat membaca alam nyata dan
ghaib.
Dalam hal ini Ranggawarsito telah memberikan batasan-batasan
mengenai syarat-syarat menjadi seorang pujangga yaitu sebagai berikut:
a.
Golongan
wirya yaitu orang yang berderajat
b.
Golongan
agama yaitu ulama yang menguasai kitab agama
c.
Golongan
pertapa yaitu pandhita
d.
Golongan
sujana yaitu orang yang baik dan memiliki kelebihan
e.
Golongan
aguna yaitu orang yang memiliki ilmu dan
kepandaian
f.
Golongan
prawira yaitu golongan prajurit yang tersohor
g.
Golongan
supunya yaitu orang yang kaya yang berharta
h. Golongan supatya yaitu golongan petani yang tekun
i.
Sambegana yang berarti memiliki daya ingat yang kuat dan tajam[4].
Tugas pujangga dalam menyusun kesusastraan yaitu:
a.
Ingkang anyerat
atau orang yang menuliskan naskah
b.
Ingkang anganggit
atau yang mengarang naskah
c.
Ingkang angiket
atau yang mengumpulkan
d.
Ingkang akarya
sastra atau yang mengerjakan teks
2.3 Kedudukan Pujangga tradisional (masa mataram)
Dalam kehidupan masyarakat zaman dahulu, raja atau sultan dipandang sebagai
pusat orientasi dan aktivitas masyarakat. Bisa dikatakan, segala kegiatan dan
tindakan anggota masyarakat dijalankan dan sekaligus ditujukan sesuai dengan
perintah raja. Oleh karenanya kesejahteraan dan kesengsaraan rakyat sangat ditentukan
oleh peranan raja yakni apakah rajanya lebih memikirkan kehidupan rakyatnya
ataukah hanya memikirkan kehidupannya sendiri.
Seperti yang sudah dikemukakan tadi bahwa, seorang raja menjadi pusat
segala aktivitas masyarakat, maka ia haruslah memiliki kharisma yang besar agar
setiap ucapan dan tindakanya selalu menjadi panutan masyarakat. sebuah kharisma
penting dimiliki oleh seorang raja agar segala perintahnya mendapat perhatian
dan ditaati oleh rakyatnya dengan sepenuh hati. Oleh karenanya dalam hal inilah
seorang raja di tuntut mempunyai kesaktian luar biasa dan mempunyai pengetahuan
yang luas mengenai cara mempertahankan roda pemerintahan. Bukan hanya itu
seorang rajapun sepertinya harus menguasai berbagai strategi perang, baik
sebagai usaha untuk melanggengkan kekuasaannya, mempertahankan kerajaannya dari
segala macam serangan maupun untuk meluaskan wilayahnya.
Oleh sebab itu, guna memperkokoh kharisma raja dihadapan rakyat, berbagai
cerita tentang kesucian, kehebatan, dan kesaktian raja menjadi salah satu
sarana yang cukup dan bahkan bisa dibilang sangat penting untuk menciptakan
citra kharismatik rajanya. Melalui cerita cerita semacam itu diharapkan rakyat tidak hanya bangga dan
sekedar mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat
semakin mempercayai kesaktian yang dimiliki oleh rajanya. Bahkan kemudian tidak
jarang bahwa raja dianggap sebagai keturunan dewa.
Pada situasi inilah kemudian seorang pujangga kerajaan memainkan
peranannya. Maka kemudian dibuatlah kisah kisah tentang raja yang digambarkan
sebagai titisan dewa yang mempunyai kesaktian luar biasa dan berbagai kisah
kepahlawanan dan penaklukan penaklukan yang dilakukan oleh rajanya. Oleh
karenanya tidak perlu heran jika dalam kesusasteraan lama, selalu saja ada
kisah yang berkaitan dengan dunia supranatural.
Dalm hal kesastraan, lebih tepatnya pada tradisi kesusastraan lama,
pujangga hanya memusatkan perhatiannya kepada kehidupan istana atau dunia
supranatural. Oleh karena itu, salah satu ciri khas yang menonjol pada karya
sastra lama adalah gambaran tentang kehidupan yang berpusat pada kehidupan
istana (istana sentris) yang diwarnai dengan kisah-kisah supranatural. Sehingga
kemudian di sini fungsi pujangga, selain menyuguhkan kisah-kisah yang dapat
menghibur pendengar atau pembacanya, juga yang paling utama adalah untuk
melegitimasi kekuasaan raja.
Intinya adalah bahwa, pujangga menempati posisi yang teramat penting dalam
sebuah kerajaan. Ia memiliki peranan yang khas, baik dalam hubungannya dengan
kehidupan istana ataupun hubungannya dengan masyarakat.
Dalam kehidupannya dilingkungan istana, pujangga adalah salah seorang
aparat yang bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan
raja. Dan itu yang membuat kehidupan pujangga dan keluarganya berada dalam
naungan pengayoman seorang raja, dan bisa dikatakan segala kebutuhan dia dan
keluarganya sepenuhnya menjadi tanggungan raja.
Sementara itu, dalam kehidupannya ditengah-tengah masyarakat, seorang
pujangga dianggap sebagai empu atau tokoh yang dianggap mumpuni, yakni
berpengetahuan luas, arif bijaksana dan mengetahui tanda-tanda zaman. Melihat
seperti itulah posisi pujangga di lingkungan masyarakat, pujangga acapkali juga
bertindak sebagai penasehat raja. Tak jarang mereka berperan sebagai penyambung
lidah raja, ketika seorang raja menyampaikan amanat kepada para rakyat.
Sehingga bisa dikatakan pujangga menjadi jembatan penghubung antara raja dengan
para rakyatnya ataupun sebaliknya.[6]
Pujangga mempunyai
kedudukan sosial sebagai pegawai istana maupun kabupaten. Ia sebagai pegawai
istana atau kabupaten yang digaji berupa pemberian tanah garapan yang disebut
tanah lungguh, dan segala kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh raja atau
bupati yang sedang memerintah, sehingga mereka mempunyai kewajiban utama yaitu
mengabdikan dirinya kepada raja atau bupati yang sedang berkuasa. Raja atau
bupati di dalam melaksanakan pemerintahan memerlukan dukungan rakyatnya. Oleh
karena itu seorang raja atau bupati memerintahkan kepada pujangga untuk menulis
kitab historiografi Indonesia tradisional sebagai sarana legitimasi
pemerintahan agar mendapat dukungan dari rakyatnya. Bentuk historiografi yang
demikian ini sering dikenal sebagai kitab puja sastra atau sastra magis. Kitab
semacam ini memiliki fungsi sosial politik yaitu untuk melegitimasi dinasti
yang sedang memerintah.
Mengingat historiografi
tradisional sebagai media legitimasi, sehingga isi ceritanya cenderung
mengagungkan kemegahan raja atau bupati dan para leluhurnya, sedangkan “noda
noda hitam” atau perbuatan aib seorang raja atau bupati, dihilangkan. Kitab
historiografi tradisional biasanya bersifat anonim, maksudnya siapa penulis
tidak dicantumkan, sehingga sulit untuk menentukan siapa penulis kitab tersebut
ditulis. Bagi seorang pujangga pada waktu itu, dicantumkan atau tidak
dicantumkan bukan persoalan penting, karena pujangga sebagai abdi dalem
kerajaan atau kabupaten, segala keperluan hidupnya telah dicukupi oleh raja
atau bupati yang sedang memerintah. Berkenaan dengan itu, ada tugas yang lebih
penting bagi seorang pujangga dari pada sekedar mencari popularitas diri dengan
mencantumkan namanya di dalam kitab yang ditulisnya. Para pujangga pada waktu
itu selain memiliki kedudukan sebagai pegawai istana atau kabupaten, mereka
jugadikenal sebagai seorang cendekiawan maupun sebagai seorang budayawan
(sastrawan). Ia mengandalkan kemampuan
intelektual dan daya imajinasinya untuk menciptakan kitab historiografi tradisional,
sehingga hasil penulisannya dikenal sebagai kitab sastra sejarah. Isi cerita di
dalam kitab historiografi tradisional untuk mengkultuskan atau mengagungkan
raja atau bupati yang sedang berkuasa, sehingga kitab tersebut dikenal sebagai
kitab sastra magis atau kitab puja sastra, dan memiliki kebenaran sejarah yang
subyektif.[7]
2.4 Tokoh Pujangga Mataram serta karya-karyanya
Nama Ranggawarsita berasal dari kata rangga-warsita. Rangga
berarti senapati, panglima, komandan pertempuran. Warsita adalah wacana,
wejangan, pengetahuan hidup, episteme. Nama ini secara langsung menunjukkan
bahwa para pemimpin tanah Jawa mengubah strategi peperangannya melawan kumpeni.
Selepas peperangan fisik di perang Jawa/Dipanegara, maka peperangan dengan
kumpeni berubah bentuk menjadi peperangan pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa
Mas Burham diberi gelar R Ng. Ranggawarsita, bukan Yasadipura III. Dan hal ini
terbukti dengan bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan pengetahuan
Jawa. Bersamaan era atau masa dengan R Ng. Ranggawarsita adalah Kangjeng Gusti Pangeran
Arya Adipati Mangkunegara IV (1809-81) dari Pura Mangkunegaran, Surakarta.
1. Raden Ngabehi Yasadipura I
Raden Ngabehi yasadipura I nama kecilnya adalah Bagus
Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya masih keturunan
Sultan Hadiwijaya Raja Pajang. Pendidikan yang ditempuh oleh R.Ng. Yasadipura I
adalah Pesantren Hanggamayan magelang yang dipimpin oleh Kyai Honggomoyo.Raden
Ngabehi Yasadipura I adalah pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang
menjabat di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II (1711-1749), Pakubuwana
III (1749-1788) dan Pakubuwana IV (1788-1820) antara tahun 1743 hingga tahun
1803, kemudian jabatan pujangga dilanjutkan oleh putranya yaitu Raden Ngabehi
Yasadipura II (1803-1844) hingga masa Pakubuwana VII dan kemudian jabatan
pujangga dilanjutkan oleh R.Ng. Ranggawarsita.
2. Raden Ngabehi Yasadipura II
Yasadipura II lahir sekitar tahun 1760 dan merupakan putra
pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi yasadipura I.
Yasadipura II ini menjabat sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat pada
masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820), pakubuwana V (1820-1823),
Pakubuwana VI (1823-1830) dan pakubuwana VII (1830-1858).
Yasadipura II diangkat sebagai pegawai Keraton Surakarta
hadiningrat berpangkat panewu dengan nama Kyai Ranggawarsita I dan kemudian
naik jabatan menjadi Kliwon dan bernama R.NG. Yasadipura II. Pada tahun 1803,
pujangga kerajaan yaitu Yasadipura I meninggal dunia dan sebagai penggantinya
maka diangkatlah R.Ng. Yasadipura II oleh pakubuwana IV dengan nama baru Raden
Tumenggung Sastranegara.Yasadipura II sendiri merupakan keturunan dari Jaka
Tingkir (Sultan Adiwijaya, Raja Pajang) yang dari silsilah keluarganya banyak
melahirkan beberapa pujangga Jawa terkenal, seperti Yasadipura I (sang ayah)
dan Raden Ngabehi Ranggawarsita (sang cucu). Setelah Yasadipura II
menyelesaikan pendidikannya di Tegalsari ia kembali ke Surakarta dan mengabdi
di Keraton, karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad ke-19.
Bersama-sama dengan ayahnya, Yasadipura mulai menulis beberapa Babad dan
menerjemahkan beberapa karya Sastra Kuna.
3. Sejarah Perkembangan Karya sastra Yasadipura I dan
Yasadipura II
Peran dan kedudukan pujangga Yasadipura I dan Yasadipura II
dalam sejarah perkembangan kesusastraan jawa sangat penting, yakni sebagai
tokoh simpul yang dapat menjembatani tradisi sastra pra-Islam dan perkembangan
kesusastraan jawa sesudanya (zaman Islam) yang sempat mengalami stagnan.
Karya- karya tersebut membuktikan bahwa Yasadipura I
menguasai bahasa Jawa Kuna. Pada abad ke-19 para ahli filologi Belanda yang
tertarik pada bahasa dan sastra Jawa mengumpulkan manuskrip Jawa Kuna (Margana,
2004: 62). Para ahli tersebut menerjemahkan manuskrip dengan bantuan informasi
lokal, di antaranya adalah Yasadipura I. Akan tetapi, Yasadipura I tidak
semata-mata menerjemahkan manuskrip tersebut. Teks-teks dalam manuskrip
digubahnya menjadi karya baru. Dengan demikian, ia memeras otak mengolah dan
memilih kata yang sesuai agar karya Jawa Kuno itu dapat dimengerti oleh
masyarakat dengan tetap mengikuti kaidah tembang macapat.
Yasadipura II dikenal sebagai pujangga Keraton atau kaum
literati yang kreatif, produktif, kritis, dan terkemuka pada zamannya. Hal
tersebut tercermin dalam beberapa karyanya, seperti Dharmasunya, Arjunasasra,
Wicarakeras, Sasanasunu, Bratasunu, Babad Giyanti, Sewaka, Anbiya, Iskandar
Serat Centhini, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Berbeda dengan
ayahnya, Yasadipura I, asal-usul keberadaan Yasadipura II tidak terlalu banyak
dapat diceritakan. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber dan banyaknya
karya-karya Yasadipura II yang tidak diekspos atau hilang. Pada tahun 1826,
Yasadipura II ditunjuk sebagai pejabat Bupati Carik Kadipaten. Ketika menjadi
seorang pujangga, Yasadipura II mengabdi kepada tiga orang raja yang
ketiga-tiganya dikenal sebagai pengayom sastra. Salah satu dari ketiga raja tersebut
adalah Raja Pakubuwana V (1820-1828) yang memiliki tiga orang putra antara lain
R. Ngabehi Ranggawarsita II, Mas Haji Ranggasmita (keduanya nanti diasingkan
oleh Belanda pada tahun 1828, karena dianggap bersekutu dengan Pakubuwana IV
melawan kompeni pada saat terjadi perang jawa yang terjadi pada kurun waktu
1825-1830), dan R. Ngabehi Hawikrama yang kelak bergelar Yasadipura III.
4. Karya Sastra Yasadipura I
Beberapa peneliti meragukan kemampuan Yasadipura I dalam
penguasaan bahasa Jawa Kuno. Poerbatjaraka menunjukkan kesalahan-kesalahan yang
dilakukan Yasadipura I, yaitu pada saat menyadur Kakawin Bharatayuddha menjadi
Serat Bratayuda terdapat kesalahan dalam pemenggalan kata sehingga muncul
nama-nama baru (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1952: 157—160). Namun, memahami
kakawin dan menuangkanya kembalimenjadi karya sastra ke bentuk berbeda
merupakan pekerjaan yang luar biasa. Seseorang yang tidak piawai dalam
kesusasteraan Jawa tidak mungkin dapat melakukannya. Apalagi terbukti cerita
dalam Kakawin Bharatayuddha tidak mengalami perubahan yang signifikan. Inti
dari kepustakaan jawa pada zaman kerajaan Surakarta yang dibangun oleh
Yasadipura I dan II,yakni membedakan antara karya Yasadipura I dengan
Yasadipura II. Karya yang tercipta sesudah tahun 1801 bukan merupakan karya
Yasadipura I, karena Yasadipura I wafat pada tahun 1801.
Adapun karya-karya pujangga yasadipura I dapat dibagi
menjadi dua yaitu gubahan dan ciptaan. Karya sastra gubahan meliputi
karya-karya yang lebih tua yaitu Arjuna Wiwaha Gubahan Macapat, Bratayuda
Gubahan Macapat, Dewa runic Gubahan, Ramayana Gubahan Macapat, serat Ambiya
Gubahan, Serat Menak Gubahan Macapat, Serat tajusalatin Gubahan Macapat. Karya
sastra ciptaan meliputi Serat Cebolek, Babad Giyanti, Babat Prayut.
Kelebihan Pujangga Yasadipura I yakni :
a.
Dia pandai membaca tulisan Arab dan paham akan isi teksnya sesuai pada
keperluan masa itu.
b.
Paham atas bahasa Jawa puisi (tembang macapat) dan prosa
c.
Tokoh dan tempat yang diciptakan dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh
terjadi
d.
Pandai dan terampil dalam menggubah serat-serat baru dari sumber naskah-naskah
kuna sesuai dengan kepentingan/keinginan masyarakat pada masanya. Masyarakat
pada masanya menjadi berminat untuk membacanya.
e.
Daya pikirnya tajam, tekun, dan teliti. Hal demikian dapat terlihat dari
karyanya yang kronologi sruntut dan beberapa cukup tebal. Babad Giyanti jumlah
halaman 1.702, Serat Menak jumlah halaman 3.760, dan Centhini 4.200 halaman
5. Karya Sastra Yasadipura II
Karya Yasadipura II mulai ditulis pada Januari 1814 sampai
1823. Tetapi setelah kematian ayahnya, Yasadipura II kemudian diangkat sebagai
pujangga dan abdi dalem kerajaan. Ia semakin aktif menulis selama periode
antara tahun 1810-1820an. Yasadipura II banyak bekerja sama dengan para
pujangga lainnya, yakni dengan Kiai Ngabei Ranggasutrasna dan Kiai Ngabei
Sastradipura. Ketiga anggota tim merupakan pegawai kepujanggaan di Kerajaan
Surakarta. Kiai Ngabei Ranggasutrasna merupakan ahli bahasa dan sastra Jawa,
beliau diberi tugas menjelajahi separuh Pulau Jawa sebelah timur, mulai dari
Surakarta sampai Banyuwangi.
Kiai Ngabei Yasadipura II bertugas menjelajahi separuh Pulau
Jawa sebelah barat, mulai dari Surakarta sampai Anyer. Segala yang mereka
berdua lihat dan dengar harus dicatat, diingat-ingat, serta direkam dalam
ingatan. Sedangkan kiai Sastradipura diberitugas naik Haji ke Mekah dan tinggal
disana beberapa lama untuk memperdalam agama Islam, karena beliau ahli bahasa
arab, tasawuf dan ahli agama. Setelah selesai menjelajah, mereka bertiga
bertemu kembali di Kadipaten, Surakarta. Barulah serat Centhini dibuat.
Dari beribu-ribu naskah, naskah
Centhini merupakan naskah yang baik dari ketebalannya maupun kandungan isi
teksnya mempunyai keistimewaan. Kandungan isi teks Centhini sangat beragam,
meliputi; sejarah, pendidikan (prenatal dan postnatal), geografi, arsitektur,
pengetahuanalam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, dan sebagainya. Karena
kandungan isi teksnya banyak maka Centhini sering disebut Ensiklopedi Kebudayaan
Jawa, yaitu tentang segala ilmu yang terdapat dimuka bumi Pulau Jawa, bukan
yang terdapat di Benua-benua lain.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pujangga
keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang
yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh
julukan Empu. Empu adalah
gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’. Seorang ahli, terutama ahli membuat keris. Tapi maksud dari empu dalam pembahasan ini lebih mengacu kepada empu sebagai ‘tuan’.
Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana, ahli bahasa, dan
penyair. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir,
ahli sastra dan bahasa .
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia pujangga adalah Pandhita, pertapa, orang yang cerdik, pandai, pengarang, penyair,
sajak ahli sastra kepujanggaan. Dalam serat babad pujangga-dalem digambarkan
sebagai nujum istana yakni sebagai pendeta dan sastrawan yang mumpuni
ilmunya dan berperan sebagai penasihat raja dalam hal-hal kerohanian dan
kebatinan, disamping sebagai penulis.
Pada masa kerajaan, sastrawan atau pujangga berperan
untuk melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, ia hidup dibawah pengayoman
raja. Itu pula yang menyebabkan karya-karyanya harus menggambarkan kesaktian
dan kebesaran raja sebagai usaha untuk menciptakan citra kharismatik rajanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Soedjatmoko dkk,
Historiografi Indonesia “sebuah pengantar”, Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 1995.
Purwadi, Sosiologi Mistik R. NG.
Ronggowarsito. Jogjakarta:Persada Agustus 2003.
Any, anjari.
1980. Raden Ngabehi Ronggowarsitoh, apa
yang terjadi?. Semarang: CV Aneka ilmu
Mahayana, maman
s. 2005. Sembilan jawaban sastra
indonesia. Jakarta:Bening publishing.
Muhammad
Fachrizal Helmi,
Kedudukan
Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa
https://www.academia.edu/20114259/Kedudukan_Pujangga_Dalam_Kesusastraan_Jawa.
Di unduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.00 WIB.
kedudukan
pujangga di Mataram. http://sejarawan.wordpress.com/2007/12/06/memahami-historiogarfi-tradisional. Diunduh pada rabu, 24 Februari 2016 WIB
Sejarah pujangga tradisional. http://library.unej.ac.id/client/search/asset/150;jsessionid diakses pada hari senin 22 Februari 2016
pukul 11.40 wib
Ghonimatul Badriyah, Pujangga Yasadipura I dan Yasadipura http://ghonimatulbadriyah.blogspot.co.id/2013/10/pujangga-yasadipura-i-dan-yasadipura-ii.html .
Diunduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.20 WIB.
[1] Muhammad
Fachrizal Helmi, Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa https://www.academia.edu/20114259/Kedudukan_Pujangga_Dalam_Kesusastraan_Jawa.
Di unduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.00 WIB.
[2] Soedjatmoko dkk, Historiografi Indonesia “sebuah pengantar”, (Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995) hlm 112.
[4] Anjar any, Raden Ngabehi Ronggowarsitoh, apa yang terjadi?. (Semarang: CV
Aneka ilmu, 1980). Hlm 52.
[5] kedudukan pujangga di Mataram. http://sejarawan.wordpress.com/2007/12/06/memahami-historiogarfi-tradisional. Diunduh pada rabu, 24 Februari 2016 WIB.
[8] Ghonimatul Badriyah, Pujangga
Yasadipura I dan Yasadipura http://ghonimatulbadriyah.blogspot.co.id/2013/10/pujangga-yasadipura-i-dan-yasadipura-ii.html
. Diunduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.20 WIB.
karya pujangga patut mendapat apresiasi
BalasHapusBetul sekali 👍
BalasHapus