Selasa, 07 November 2017

MAKALAH KEDUDUKAN PUJANGGA



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian pujangga
Pujangga keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan  Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh julukan Empu (Linus Suryadi A.G, 1995). Empu adalah 1) gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’, 2) seorang ahli, terutama ahli membuat keris (Poerwadarminta, 2007). Tapi maksud dari empu dalam pembahasan  ini lebih mengacu kepada empu sebagai ‘tuan’. Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana, ahli bahasa, dan penyair (Gericke-Roorda, jilid 2, 1901). Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir, ahli sastra dan bahasa (Poerwadarminta, 2007).

Dilihat dari definisi di atas, secara umum dapatlah kita sebut bahwa pujangga adalah istilah yang gunakan sebagai sebutan untuk seorang penulis karya sastra pada masa atau zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, seperti mpu (atau empu) Tantular dan mpu Panuluh. Bahkan, pujangga tidak hanya dikenal pada masa Jawa-Hindu dan Jawa-Budha saja, tetapi juga sampai pada zaman Jawa-Islam yaitu, seperti R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan salah satu pujangga atau penulis karya sastra Jawa yang dikenal pada zaman Jawa-Islam.[1]

Kemudian kita kenal pula Babad Gianti yang panjang itu, yang ditulis oleh pujangga Jawa yang termasyhur, Raden Ngabehi Jasa dipura. Buku ini menceritakan peperangan antara Surakarta dan Yogyakarta, dan pengalaman mangkubumi, pangeran Mangkunegara I (1757-1796). Balai pustaka menerbitkan edisi yang bagus dari naskah ini, lengkap dengan daftar namadan peta (Batavia centrum, 1937-1939). Buku ini dapat menjadi sumberpenting tentang zaman itu, disamping dokumen-dokumen Belanda.[2]

2.2  Syarat- Syarat Pujangga dan Tugasnya
Dalam manuskrip yang disusun oleh Padmawarsita diterangkan bahwa seorang pujangga harus memilki kemampuan nawungkridha dan sambegan. nawungkridha yang berarti waskitha atau mengetahui rahasia segala sesuatu dengan ketajaman pandangan batinnya. Sedangkan Sambegan artinya kuat ingatan. Kedua kemampuan ini tidak dapat dicapai dengan belajar melainkan berhubungan dengan wahyu.[3] Seorang pujangga dalam sastra pewayangan biasanya memimpin sebuah padepokan atau pertapaan. Misalnya seperti pertapaan Kendhalisada, Pertapaan Talkanda dan pertapaan sukalima. Dimata masyarakat pujangga dikenal dengan eksistensinya yang sangat berwibawa dan berpengaruh, karena dapat membaca alam nyata dan ghaib.
Dalam hal ini Ranggawarsito telah memberikan batasan-batasan mengenai syarat-syarat menjadi seorang pujangga yaitu sebagai berikut:
a.         Golongan wirya yaitu orang yang  berderajat
b.         Golongan agama yaitu ulama yang menguasai kitab agama
c.         Golongan pertapa yaitu pandhita
d.        Golongan sujana yaitu orang yang baik dan memiliki kelebihan
e.         Golongan aguna yaitu  orang yang memiliki ilmu dan kepandaian
f.          Golongan prawira yaitu golongan prajurit yang tersohor
g.         Golongan supunya yaitu orang yang kaya yang berharta
h.      Golongan supatya yaitu golongan petani yang tekun
i.        Sambegana yang berarti memiliki daya ingat yang kuat dan tajam[4].

Tugas pujangga dalam menyusun kesusastraan yaitu:

a.         Ingkang anyerat atau orang yang menuliskan naskah
b.         Ingkang anganggit atau yang mengarang naskah
c.         Ingkang angiket atau yang mengumpulkan
d.        Ingkang akarya sastra atau yang mengerjakan teks
e.         Ingkang anedhak atau yang menyalin [5]

2.3  Kedudukan Pujangga tradisional (masa mataram)
Dalam kehidupan masyarakat zaman dahulu, raja atau sultan dipandang sebagai pusat orientasi dan aktivitas masyarakat. Bisa dikatakan, segala kegiatan dan tindakan anggota masyarakat dijalankan dan sekaligus ditujukan sesuai dengan perintah raja. Oleh karenanya kesejahteraan dan kesengsaraan rakyat sangat ditentukan oleh peranan raja yakni apakah rajanya lebih memikirkan kehidupan rakyatnya ataukah hanya memikirkan kehidupannya sendiri.
Seperti yang sudah dikemukakan tadi bahwa, seorang raja menjadi pusat segala aktivitas masyarakat, maka ia haruslah memiliki kharisma yang besar agar setiap ucapan dan tindakanya selalu menjadi panutan masyarakat. sebuah kharisma penting dimiliki oleh seorang raja agar segala perintahnya mendapat perhatian dan ditaati oleh rakyatnya dengan sepenuh hati. Oleh karenanya dalam hal inilah seorang raja di tuntut mempunyai kesaktian luar biasa dan mempunyai pengetahuan yang luas mengenai cara mempertahankan roda pemerintahan. Bukan hanya itu seorang rajapun sepertinya harus menguasai berbagai strategi perang, baik sebagai usaha untuk melanggengkan kekuasaannya, mempertahankan kerajaannya dari segala macam serangan maupun untuk meluaskan wilayahnya.
Oleh sebab itu, guna memperkokoh kharisma raja dihadapan rakyat, berbagai cerita tentang kesucian, kehebatan, dan kesaktian raja menjadi salah satu sarana yang cukup dan bahkan bisa dibilang sangat penting untuk menciptakan citra kharismatik rajanya. Melalui cerita cerita semacam itu  diharapkan rakyat tidak hanya bangga dan sekedar mengagumi rajanya, tetapi juga memberi legitimasi agar rakyat dapat semakin mempercayai kesaktian yang dimiliki oleh rajanya. Bahkan kemudian tidak jarang bahwa raja dianggap sebagai keturunan dewa.
Pada situasi inilah kemudian seorang pujangga kerajaan memainkan peranannya. Maka kemudian dibuatlah kisah kisah tentang raja yang digambarkan sebagai titisan dewa yang mempunyai kesaktian luar biasa dan berbagai kisah kepahlawanan dan penaklukan penaklukan yang dilakukan oleh rajanya. Oleh karenanya tidak perlu heran jika dalam kesusasteraan lama, selalu saja ada kisah yang berkaitan dengan dunia supranatural.
Dalm hal kesastraan, lebih tepatnya pada tradisi kesusastraan lama, pujangga hanya memusatkan perhatiannya kepada kehidupan istana atau dunia supranatural. Oleh karena itu, salah satu ciri khas yang menonjol pada karya sastra lama adalah gambaran tentang kehidupan yang berpusat pada kehidupan istana (istana sentris) yang diwarnai dengan kisah-kisah supranatural. Sehingga kemudian di sini fungsi pujangga, selain menyuguhkan kisah-kisah yang dapat menghibur pendengar atau pembacanya, juga yang paling utama adalah untuk melegitimasi kekuasaan raja. 
Intinya adalah bahwa, pujangga menempati posisi yang teramat penting dalam sebuah kerajaan. Ia memiliki peranan yang khas, baik dalam hubungannya dengan kehidupan istana ataupun hubungannya dengan masyarakat.
Dalam kehidupannya dilingkungan istana, pujangga adalah salah seorang aparat yang bertugas menghasilkan karya sastra yang dapat mencitrakan kekuasaan raja. Dan itu yang membuat kehidupan pujangga dan keluarganya berada dalam naungan pengayoman seorang raja, dan bisa dikatakan segala kebutuhan dia dan keluarganya sepenuhnya menjadi tanggungan raja.
Sementara itu, dalam kehidupannya ditengah-tengah masyarakat, seorang pujangga dianggap sebagai empu atau tokoh yang dianggap mumpuni, yakni berpengetahuan luas, arif bijaksana dan mengetahui tanda-tanda zaman. Melihat seperti itulah posisi pujangga di lingkungan masyarakat, pujangga acapkali juga bertindak sebagai penasehat raja. Tak jarang mereka berperan sebagai penyambung lidah raja, ketika seorang raja menyampaikan amanat kepada para rakyat. Sehingga bisa dikatakan pujangga menjadi jembatan penghubung antara raja dengan para rakyatnya ataupun sebaliknya.[6]

Pujangga mempunyai kedudukan sosial sebagai pegawai istana maupun kabupaten. Ia sebagai pegawai istana atau kabupaten yang digaji berupa pemberian tanah garapan yang disebut tanah lungguh, dan segala kebutuhan hidupnya telah dicukupi oleh raja atau bupati yang sedang memerintah, sehingga mereka mempunyai kewajiban utama yaitu mengabdikan dirinya kepada raja atau bupati yang sedang berkuasa. Raja atau bupati di dalam melaksanakan pemerintahan memerlukan dukungan rakyatnya. Oleh karena itu seorang raja atau bupati memerintahkan kepada pujangga untuk menulis kitab historiografi Indonesia tradisional sebagai sarana legitimasi pemerintahan agar mendapat dukungan dari rakyatnya. Bentuk historiografi yang demikian ini sering dikenal sebagai kitab puja sastra atau sastra magis. Kitab semacam ini memiliki fungsi sosial politik yaitu untuk melegitimasi dinasti yang sedang memerintah.
Mengingat historiografi tradisional sebagai media legitimasi, sehingga isi ceritanya cenderung mengagungkan kemegahan raja atau bupati dan para leluhurnya, sedangkan “noda noda hitam” atau perbuatan aib seorang raja atau bupati, dihilangkan. Kitab historiografi tradisional biasanya bersifat anonim, maksudnya siapa penulis tidak dicantumkan, sehingga sulit untuk menentukan siapa penulis kitab tersebut ditulis. Bagi seorang pujangga pada waktu itu, dicantumkan atau tidak dicantumkan bukan persoalan penting, karena pujangga sebagai abdi dalem kerajaan atau kabupaten, segala keperluan hidupnya telah dicukupi oleh raja atau bupati yang sedang memerintah. Berkenaan dengan itu, ada tugas yang lebih penting bagi seorang pujangga dari pada sekedar mencari popularitas diri dengan mencantumkan namanya di dalam kitab yang ditulisnya. Para pujangga pada waktu itu selain memiliki kedudukan sebagai pegawai istana atau kabupaten, mereka jugadikenal sebagai seorang cendekiawan maupun sebagai seorang budayawan (sastrawan). Ia mengandalkan  kemampuan intelektual dan daya imajinasinya untuk menciptakan kitab historiografi tradisional, sehingga hasil penulisannya dikenal sebagai kitab sastra sejarah. Isi cerita di dalam kitab historiografi tradisional untuk mengkultuskan atau mengagungkan raja atau bupati yang sedang berkuasa, sehingga kitab tersebut dikenal sebagai kitab sastra magis atau kitab puja sastra, dan memiliki kebenaran sejarah yang subyektif.[7]
2.4  Tokoh Pujangga Mataram serta karya-karyanya
Nama Ranggawarsita berasal dari kata rangga-warsita. Rangga berarti senapati, panglima, komandan pertempuran. Warsita adalah wacana, wejangan, pengetahuan hidup, episteme. Nama ini secara langsung menunjukkan bahwa para pemimpin tanah Jawa mengubah strategi peperangannya melawan kumpeni. Selepas peperangan fisik di perang Jawa/Dipanegara, maka peperangan dengan kumpeni berubah bentuk menjadi peperangan pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa Mas Burham diberi gelar R Ng. Ranggawarsita, bukan Yasadipura III. Dan hal ini terbukti dengan bangkitnya semangat menuliskan kembali peninggalan pengetahuan Jawa. Bersamaan era atau masa dengan R Ng. Ranggawarsita adalah Kangjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara IV (1809-81) dari Pura Mangkunegaran, Surakarta.

1. Raden Ngabehi Yasadipura I

Raden Ngabehi yasadipura I nama kecilnya adalah Bagus Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya masih keturunan Sultan Hadiwijaya Raja Pajang. Pendidikan yang ditempuh oleh R.Ng. Yasadipura I adalah Pesantren Hanggamayan magelang yang dipimpin oleh Kyai Honggomoyo.Raden Ngabehi Yasadipura I adalah pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yang menjabat di masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana II (1711-1749), Pakubuwana III (1749-1788) dan Pakubuwana IV (1788-1820) antara tahun 1743 hingga tahun 1803, kemudian jabatan pujangga dilanjutkan oleh putranya yaitu Raden Ngabehi Yasadipura II (1803-1844) hingga masa Pakubuwana VII dan kemudian jabatan pujangga dilanjutkan oleh R.Ng. Ranggawarsita.

2. Raden Ngabehi Yasadipura II

Yasadipura II lahir sekitar tahun 1760 dan merupakan putra pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat yaitu Raden Ngabehi yasadipura I. Yasadipura II ini menjabat sebagai pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820), pakubuwana V (1820-1823), Pakubuwana VI (1823-1830) dan pakubuwana VII (1830-1858).
Yasadipura II diangkat sebagai pegawai Keraton Surakarta hadiningrat berpangkat panewu dengan nama Kyai Ranggawarsita I dan kemudian naik jabatan menjadi Kliwon dan bernama R.NG. Yasadipura II. Pada tahun 1803, pujangga kerajaan yaitu Yasadipura I meninggal dunia dan sebagai penggantinya maka diangkatlah R.Ng. Yasadipura II oleh pakubuwana IV dengan nama baru Raden Tumenggung Sastranegara.Yasadipura II sendiri merupakan keturunan dari Jaka Tingkir (Sultan Adiwijaya, Raja Pajang) yang dari silsilah keluarganya banyak melahirkan beberapa pujangga Jawa terkenal, seperti Yasadipura I (sang ayah) dan Raden Ngabehi Ranggawarsita (sang cucu). Setelah Yasadipura II menyelesaikan pendidikannya di Tegalsari ia kembali ke Surakarta dan mengabdi di Keraton, karirnya sebagai penulis mulai berkembang pada awal abad ke-19. Bersama-sama dengan ayahnya, Yasadipura mulai menulis beberapa Babad dan menerjemahkan beberapa karya Sastra Kuna.

3. Sejarah Perkembangan Karya sastra Yasadipura I dan Yasadipura II

Peran dan kedudukan pujangga Yasadipura I dan Yasadipura II dalam sejarah perkembangan kesusastraan jawa sangat penting, yakni sebagai tokoh simpul yang dapat menjembatani tradisi sastra pra-Islam dan perkembangan kesusastraan jawa sesudanya (zaman Islam) yang sempat mengalami stagnan.
Karya- karya tersebut membuktikan bahwa Yasadipura I menguasai bahasa Jawa Kuna. Pada abad ke-19 para ahli filologi Belanda yang tertarik pada bahasa dan sastra Jawa mengumpulkan manuskrip Jawa Kuna (Margana, 2004: 62). Para ahli tersebut menerjemahkan manuskrip dengan bantuan informasi lokal, di antaranya adalah Yasadipura I. Akan tetapi, Yasadipura I tidak semata-mata menerjemahkan manuskrip tersebut. Teks-teks dalam manuskrip digubahnya menjadi karya baru. Dengan demikian, ia memeras otak mengolah dan memilih kata yang sesuai agar karya Jawa Kuno itu dapat dimengerti oleh masyarakat dengan tetap mengikuti kaidah tembang macapat.
Yasadipura II dikenal sebagai pujangga Keraton atau kaum literati yang kreatif, produktif, kritis, dan terkemuka pada zamannya. Hal tersebut tercermin dalam beberapa karyanya, seperti Dharmasunya, Arjunasasra, Wicarakeras, Sasanasunu, Bratasunu, Babad Giyanti, Sewaka, Anbiya, Iskandar Serat Centhini, dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Berbeda dengan ayahnya, Yasadipura I, asal-usul keberadaan Yasadipura II tidak terlalu banyak dapat diceritakan. Hal ini dikarenakan keterbatasan sumber dan banyaknya karya-karya Yasadipura II yang tidak diekspos atau hilang. Pada tahun 1826, Yasadipura II ditunjuk sebagai pejabat Bupati Carik Kadipaten. Ketika menjadi seorang pujangga, Yasadipura II mengabdi kepada tiga orang raja yang ketiga-tiganya dikenal sebagai pengayom sastra. Salah satu dari ketiga raja tersebut adalah Raja Pakubuwana V (1820-1828) yang memiliki tiga orang putra antara lain R. Ngabehi Ranggawarsita II, Mas Haji Ranggasmita (keduanya nanti diasingkan oleh Belanda pada tahun 1828, karena dianggap bersekutu dengan Pakubuwana IV melawan kompeni pada saat terjadi perang jawa yang terjadi pada kurun waktu 1825-1830), dan R. Ngabehi Hawikrama yang kelak bergelar Yasadipura III.

4. Karya Sastra Yasadipura I

Beberapa peneliti meragukan kemampuan Yasadipura I dalam penguasaan bahasa Jawa Kuno. Poerbatjaraka menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Yasadipura I, yaitu pada saat menyadur Kakawin Bharatayuddha menjadi Serat Bratayuda terdapat kesalahan dalam pemenggalan kata sehingga muncul nama-nama baru (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1952: 157—160). Namun, memahami kakawin dan menuangkanya kembalimenjadi karya sastra ke bentuk berbeda merupakan pekerjaan yang luar biasa. Seseorang yang tidak piawai dalam kesusasteraan Jawa tidak mungkin dapat melakukannya. Apalagi terbukti cerita dalam Kakawin Bharatayuddha tidak mengalami perubahan yang signifikan. Inti dari kepustakaan jawa pada zaman kerajaan Surakarta yang dibangun oleh Yasadipura I dan II,yakni membedakan antara karya Yasadipura I dengan Yasadipura II. Karya yang tercipta sesudah tahun 1801 bukan merupakan karya Yasadipura I, karena Yasadipura I wafat pada tahun 1801.

Adapun karya-karya pujangga yasadipura I dapat dibagi menjadi dua yaitu gubahan dan ciptaan. Karya sastra gubahan meliputi karya-karya yang lebih tua yaitu Arjuna Wiwaha Gubahan Macapat, Bratayuda Gubahan Macapat, Dewa runic Gubahan, Ramayana Gubahan Macapat, serat Ambiya Gubahan, Serat Menak Gubahan Macapat, Serat tajusalatin Gubahan Macapat. Karya sastra ciptaan meliputi Serat Cebolek, Babad Giyanti, Babat Prayut.
Kelebihan Pujangga Yasadipura I yakni :
a. Dia pandai membaca tulisan Arab dan paham akan isi teksnya sesuai pada keperluan masa itu.
b. Paham atas bahasa Jawa puisi (tembang macapat) dan prosa
c. Tokoh dan tempat yang diciptakan dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh terjadi
d. Pandai dan terampil dalam menggubah serat-serat baru dari sumber naskah-naskah kuna sesuai dengan kepentingan/keinginan masyarakat pada masanya. Masyarakat pada masanya menjadi berminat untuk membacanya.
e. Daya pikirnya tajam, tekun, dan teliti. Hal demikian dapat terlihat dari karyanya yang kronologi sruntut dan beberapa cukup tebal. Babad Giyanti jumlah halaman 1.702, Serat Menak jumlah halaman 3.760, dan Centhini 4.200 halaman

5. Karya Sastra Yasadipura II

Karya Yasadipura II mulai ditulis pada Januari 1814 sampai 1823. Tetapi setelah kematian ayahnya, Yasadipura II kemudian diangkat sebagai pujangga dan abdi dalem kerajaan. Ia semakin aktif menulis selama periode antara tahun 1810-1820an. Yasadipura II banyak bekerja sama dengan para pujangga lainnya, yakni dengan Kiai Ngabei Ranggasutrasna dan Kiai Ngabei Sastradipura. Ketiga anggota tim merupakan pegawai kepujanggaan di Kerajaan Surakarta. Kiai Ngabei Ranggasutrasna merupakan ahli bahasa dan sastra Jawa, beliau diberi tugas menjelajahi separuh Pulau Jawa sebelah timur, mulai dari Surakarta sampai Banyuwangi.
Kiai Ngabei Yasadipura II bertugas menjelajahi separuh Pulau Jawa sebelah barat, mulai dari Surakarta sampai Anyer. Segala yang mereka berdua lihat dan dengar harus dicatat, diingat-ingat, serta direkam dalam ingatan. Sedangkan kiai Sastradipura diberitugas naik Haji ke Mekah dan tinggal disana beberapa lama untuk memperdalam agama Islam, karena beliau ahli bahasa arab, tasawuf dan ahli agama. Setelah selesai menjelajah, mereka bertiga bertemu kembali di Kadipaten, Surakarta. Barulah serat Centhini dibuat.
Dari beribu-ribu naskah, naskah Centhini merupakan naskah yang baik dari ketebalannya maupun kandungan isi teksnya mempunyai keistimewaan. Kandungan isi teks Centhini sangat beragam, meliputi; sejarah, pendidikan (prenatal dan postnatal), geografi, arsitektur, pengetahuanalam, falsafah, agama, tasawuf, mistik, dan sebagainya. Karena kandungan isi teksnya banyak maka Centhini sering disebut Ensiklopedi Kebudayaan Jawa, yaitu tentang segala ilmu yang terdapat dimuka bumi Pulau Jawa, bukan yang terdapat di Benua-benua lain.[8]











BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
       Pujangga keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan  Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh julukan Empu. Empu adalah gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’. Seorang ahli, terutama ahli membuat keris. Tapi maksud dari empu dalam pembahasan  ini lebih mengacu kepada empu sebagai ‘tuan’. Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana, ahli bahasa, dan penyair. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir, ahli sastra dan bahasa .
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia  pujangga adalah Pandhita, pertapa, orang yang cerdik, pandai, pengarang, penyair, sajak ahli sastra kepujanggaan. Dalam serat babad pujangga-dalem digambarkan sebagai nujum istana yakni sebagai pendeta dan sastrawan yang mumpuni ilmunya dan berperan sebagai penasihat raja dalam hal-hal kerohanian dan kebatinan, disamping sebagai penulis.
Pada masa kerajaan, sastrawan atau pujangga berperan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Oleh karena itu, ia hidup dibawah pengayoman raja. Itu pula yang menyebabkan karya-karyanya harus menggambarkan kesaktian dan kebesaran raja sebagai usaha untuk menciptakan citra kharismatik rajanya.




DAFTAR PUSTAKA

Soedjatmoko dkk, Historiografi Indonesia “sebuah pengantar”, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Purwadi, Sosiologi Mistik R. NG. Ronggowarsito. Jogjakarta:Persada Agustus 2003.
Any, anjari. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsitoh, apa yang terjadi?. Semarang: CV Aneka ilmu
Mahayana, maman s. 2005. Sembilan jawaban sastra indonesia. Jakarta:Bening publishing.
Muhammad Fachrizal Helmi, Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa https://www.academia.edu/20114259/Kedudukan_Pujangga_Dalam_Kesusastraan_Jawa. Di unduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.00 WIB.

kedudukan pujangga di Mataram. http://sejarawan.wordpress.com/2007/12/06/memahami-historiogarfi-tradisional. Diunduh pada rabu, 24 Februari 2016 WIB
Sejarah pujangga tradisional. http://library.unej.ac.id/client/search/asset/150;jsessionid diakses pada hari senin 22 Februari 2016 pukul 11.40 wib          
Ghonimatul Badriyah, Pujangga Yasadipura I dan Yasadipura http://ghonimatulbadriyah.blogspot.co.id/2013/10/pujangga-yasadipura-i-dan-yasadipura-ii.html . Diunduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.20 WIB.





[1] Muhammad Fachrizal Helmi, Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa https://www.academia.edu/20114259/Kedudukan_Pujangga_Dalam_Kesusastraan_Jawa. Di unduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.00 WIB.

[2] Soedjatmoko dkk, Historiografi Indonesia “sebuah pengantar”, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1995) hlm 112.
[3] Purwadi, Sosiologi Mistik R. NG. Ronggowarsito, (Jogjakarta:Persada Agustus 2003)  hal. 123
[4] Anjar any,  Raden Ngabehi Ronggowarsitoh, apa yang terjadi?. (Semarang: CV Aneka ilmu, 1980). Hlm 52.
[5] kedudukan pujangga di Mataram. http://sejarawan.wordpress.com/2007/12/06/memahami-historiogarfi-tradisional. Diunduh pada rabu, 24 Februari 2016 WIB.

[6] Maman s mahayana, sembilan jawaban sastra indonesia. 2005. hlm.21
[8] Ghonimatul Badriyah, Pujangga Yasadipura I dan Yasadipura http://ghonimatulbadriyah.blogspot.co.id/2013/10/pujangga-yasadipura-i-dan-yasadipura-ii.html . Diunduh pada senin, 22 Februari 2016, pukul 22.20 WIB.

2 komentar: