Selasa, 07 November 2017

MAKALAH Peran hadits dalam perkembangan historiografi Islam awal



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran hadits dalam perkembangan historiografi Islam awal
Hadits merupakan sumber informasi yang dapat berfungsi sebagai bayan  dari ayat-ayat al-Quran yang terkadang masih sulit untuk dipahami dan dimengerti secara rinci. Hadits juga merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an yang berfungsi  sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat pada masanya. Peran hadits bukan hanya sampai di situ, akan tetapi hadis juga  bisa dijadikan sebagai sumber referensi sejarah yang menceritakan bagaimana perjalanan Rasululah dalam mengembangkan agama Islam di tanah Haromain. Oleh kerena itu hadits merupakan bagian dari Historiografi Islam pada masa awal perkembangan Islam karena hadits telah mencatat bagaimana hal ihwal Rasulullah sehari-hari,  perjalanan sejarah dari mulai nabi Adam, zaman fatroh, bahkan prediksi Rasulullah mengenai keadaan umat manusia ke depan.
Peran hadits dalam perjalanan Historiografi Islam awal sangatlah signifikan, karena hadits pada awalnya merupakan tradisi lisan yang secara umum tidak boleh ditulis karena hawatir bercampur dengan al-Quran. Hal yang menarik mengapa hadits termasuk bagian dari historiografi Islam adalah karena hadits mencatat dan merekam segala aktivitas Nabi Saw bersama para sahabat-sahabatnya, dimana semua permasalahan yang berkaitan dengan hukum syari’ah, aqidah dan mu’amalah dijawab oleh Nabi Saw, dan perkataan Nabi itu kemudian dihafal oleh para sahabat-sahabatnya, lalu disampaikan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak hadir dan begitu seterusnya hingga hal itu menjadi sebuah riwayat yang dituturkan dari lisan ke lisan  yang kemudian dalam ilmu hadits disebut dengan sanad.

          Historiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad saw. Bahkan di dalam tradisi Arab pra Islam, orang-orang Arab sudah mengenal tradisi penulisan sejarah yang disebut “Ayyam al-‘Arab” untuk mengabadikan perjalan sukunya dan menceritakn tentang keunggulan suku-suku mereka.[1] Walaupun diawal perkembangan Islam nabi melarang penulisan hadits karena dihawatirkan bercampur dengan al-Quran, akan tetapi hal itu hanya bersifat umum, pada kenyataanya ada beberapa orang sahabat yang dibolehkan oleh nabi untuk menulis hadits karena kurang kuatnya hafalan seperti Abdullah bin amr bin as.
Larangan penulisan hadits bukanlah larangan yang bersifat mutlak, hal ini dibuktikan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Diceritakan bahwa sesaat setelah peristiwa Fathul Makkah  Nabi berpidato dihadapan para sahabat. Disela pidatonya tiba-tiba seorang laki-laki bernama Abu Syah dari yaman bertanya: Ya Rasulullah tulislah untukku ! jawab Rasul, tulis kamulah untuknya.[2]
Pada dasarnya, perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas Muslim itu sendiri. Seperti kita  ketahui bahwa ketika Nabi masih hidup, berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim dapat dipecahkan dengan otoritas Al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri. Tetapi  setelah beliau wafat, kaum Muslim menghadapi persoalan-persoalan baru dan tidak dapat menemukan bimbingan eksplisit dari Al-Quran, dan ketika terdapat perbedaan penafsiran ayat Al-Quran di kalangan Muslim, maka otoritas terbaik adalah perbuatan dan perkataan Nabi, yakni hadis (Sunnah).
Kemudian, selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk langsung kepada hadis Nabi, karena mereka menyaksikan langsung kehidupan beliau. Tetapi ketika semakin banyak Sahabat yang wafat, sejalan dengan kian banyaknya masalah yang muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang, kaum Muslim semakin merasakan perlunya mengumpulkan informasi yang diucapkan Nabi untuk menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi pasca Nabi dan sahabat. Dengan demikian, kita bisa merasakan betapa pentingnya peran hadits dalam historiografi sebagai solusi semua permasalahan umat. Adapun secara rinci, peran hadits dalam perkembangan historiografi Islam awal,  adalah sebagai berikut.
1.      Hadits berperan sebagai sumber sejarah.
Maksudnya keberadaan hadits sekarang adalah berfungsi sebagai sumber sejarah, karena hadits menceritakan beraneka macam ragam kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Hal ini dikarenakan hadits mempunyai Asbab al-Wurud (sebab turunya hadits) atau bisa dikatan yang melatar belakangi turunya hadits, karena adanya satu persoaalan, permasalahan dan pemberitaan yang penting untuk disampaikan oleh Nabi Saw. Dalam hal ini perlu adanya ketelitian dan kehati-hatian dalam memahami kontekstual hadits pada masa itu, maka disitulah peran Asbab al-Wurud yakni untuk memahami konteks hadits yang dikehendaki oleh Nabi Saw, sehingga muncul beberapa pertanyaan bagi kita yakni, bagaimana kita mau meneladani ucapan dan perbuatan Nabi Saw ?, kalau kita tidak mengetahui sejarah Nabi Saw?, dan bagaimana kita mau mengetahui sejarah Nabi Saw ?, kalau hadits bukan bagian dari sumber sejarah yang diriwayatkan dari sahabat ke tabi’in, dari tabi’in ke tabi’ittabi’in dari tabi’ittabi’in ke ashabuttabi’in dari ashabuttabi’in ke ‘ulama, dan dari ‘ulama sampailah kepada kita semua sebagai  pecinta sejarah.
2.      Hadits berperan sebagai catatan sejarah.
Maksudnya adalah keberadaan ratusan kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, al-Muatta Imam Malik, Musnad Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya adalah bagian dari kumpulan catatan sejarah mengenai perilaku Nabi Saw yang dimuat dalam kitab hadits. Walaupun seperti yang kita ketahui bersama bahwa dimasa Nabi penulisan hadits itu dilarang karena hawatir bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an, akan tetapi itu hanya bersifat umum, buktinya ada beberapa sahabat yang dibolehkan oleh Nabi untuk menulis apa yang diucapkan oleh Nabi seperti Abdullah bin Amr bin As.[3]
Keberadaan dan peran hadits sebagai bagian dari catatn sejarah ini mulai diperhatikan mulai ahir abad pertama hijriyyah, ha l ini dikarenakan dimasa itu terjadi fregmentasi politik yang mengakibatkan banyaknya oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan hadits sebagai alat legitimasi kelompok tertentu, bahkan tidak segan-segan membuat hadits palsu yang mengatasnamakan Nabi Saw. Ahirnya pada tahun 99 H Khalifah Umar bi abdul Aziz memerintahkan kepada salah satu gubernur bernama Abu Bakar Ibn Hazm dan beberapa Ulama, untuk menuliskan hadits secara rinci dan teliti karena kehawatiranya dengan situasi yang ada dan hilangnya ilmu, serta lenyapnya para Ulama.[4]
            Salah satu ulama yang paling menonjol yang dianggap sebagai peletak fondasi pengkodifikasian hadits adalah Abu Bakar bin Muhamad bin Syihab Az-Zuhri yakni seorang yang ahli fiqh dan hadits pada zamanya yang wafat tahun 123 H. Beliau diperintahkan oleh Khalifah untuk mengumpulkan hadits. Perintah Khalifah ini telah melahirkan methode pendidikan alternatif, yaitu para ulama mencari hadits-hadits kepada orang-orang yang dianggap mengetahuinya di berbagai tempat yang kemudian dikenal dengan methode rihlah.[5]
3.      Hadits berperan sebagai filsafat sejarah.
Maksudnya adalah hadits mempunyai otoritas kebenaran yang unggul dan ilmiah, hal ini dikarenakan penyeleksian hadits yang melewati berbagai macam tahap dan methode yang bisa dikatakan sulit untuk mencapai kata shahih. Penyeluksian ini bukan hanya mencakup matan dan sanad saja, akan tetapi sampai pada rawi yang meriwayatkanya juga. Dalam hal ini kredibilitas rawi dan ketakwaan rawi sangat berperan besar, karena seorang rawi mestilah orang yang ‘adil dan hati-hati dalam berperilaku, kriteria semacam inilah yang tidak ditentukan oleh para sejarawan (Muarrikh), sehingga banyak sekali bermunculan para sejarawan yang liberal dan tak bermoral, yang seenaknya sendiri memutar balikan fakta sejarah, sehingga melahirkan beraneka macam ragam kontroversi dan kontradiksi yang membingungkan umat.
Alasan lain mengapa hadits berperan sebagai filsafat sejarah adalah karena kebenaran sejarah yang berupa hadits yang sudah melewati tahap takhrij dan tahqiq, kebenaran dan keotentikanya melebihi kebenaran sejarah yang telah melewati tahapan interpretasi dan verivikasi, selain adanya ancaman dari Nabi dalam sabdanya bahwa “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia siap-siap menempati tempat duduknya kelak di neraka”, adanya methode Jar wa ta’dil menjadikan kebenaran dan validitas hadits semakin tak terbantahkan lagi. Hal yang demikian pun sebenarnya ada dalam ilmu sejarah lisan, yang juga menyinggung tentang keadaan saksi sejarah ataupun pelaku sejarah atu paling tidak sebagai keturunan dari pelaku sejarah yang dipercaya mempunyai otoritas penuh untuk berbicara dengan para pencari data sejarah.
Oleh sebab itu pada hakikatnya antara sejarah dan hadits keduanya memang saling melengkapi. (simbiosis mutualisme). Hal ini terbukti,dengan adanya hadits sebagai salah satu pengetahuan induk mengenai sejarah Islam yang di bawa oleh Nabi, pada era selanjutnya muncul dan berkembang kitab-kitab sejarah seperti Sirrah Nabawiah, baik itu Sirah Ibn Ishak ataupun Ibn Hiyam, kemudian muncul Tarikh Tobari, Al-kamil 7 jilid, Tarikh Ibn Khaldun, Al-Bidayah Wan-Nihayah hingga penulisan sejarah dalam bentuk Maulid Al-Barzanji, Maulid Ad-iba’i, Simtudduror dan muncul juga Manaqib atau hagiografi.
4.      Hadits berperan sebagai sebagai bagian dari Historiografi Islam.
 Maksudnya adalah kemunculan agama Islam sebagai agama baru di Makkah telah memberikan pencerahan akhlak dan ilmu pengetahuan, jika sebelum datangnya agama Islam tradisi tulis menulis masih jarang ditemui, dan masyarakat setempat lebih suka budaya lisan untuk menceritakan kisah-kisah di masa lalu, maka hal ini berbeda ketika Islam hadir dengan membawa teuhid dan ilmu pengetahuan. Salah satu tradisi tulis menulis yang awal dilakukan adalah dengan dibentuknya dewan sekretaris wahyu yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Berawal dri sinilah tradisi tulis menulis mulai berkembang, walaupun tidak semua sahabat terlibat dalam penulisan Al-Qur’an.
Seiring berjalanya waktu dalam perjalanan rasm Al-Qur’an, ternyata penulisan hadits pun ikut berkembang dikalangan sahabat, hal ini memang bersifat khusus seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Buktinya banyak dari sahabat-sahabat Nabi yang mempunyai sahifah (catatan hadits) seperti Abu Syah, Abdullah bin Amr bin As, Jubair bin Abdullah al-Ansori, bahkan dalam satu riwayat Ali bin Abi Thalib pun mempunyai shahifah yang berisi tentang hukum-hukum diyat. Peran hadits dalam historiografi Islam semakin meruncing ketika terjadi beberapa faktor yang terjadi pada umat Islam semenjak kewafatan Ali bin Abi Thalib hingga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 H).[6]
Faktor yang pertama adalah karena terjadi fregmentasi politik yang menjadikan agama Islam pecah menjadi firqoh-firqoh kecil yang banyak memanfaatkan hadits sebagai alat legitimasi. Faktor yang kedua adalah karena banyaknya para sahabat yang hafal hadits-hasits Nabi yang wafat, dan yang ketiga adalah karena hawatir hadits akan hilang begitu saja karena banyaknya para ulama yang tidak memperhaatikan penghimpunan hadits, padahal statusnya sebagai sumber hukum yang ke dua setelah Al-Qur’an. Maka dari sinilah hadits-hadits nabi mulai dikodifikasikan dan di sleeksi mana hadits-hadits yang tergolong maqbul (diterima) dan mana yang mardud (ditolak).
Pengkodifikasian inilah yeng kemudian dikatakan bahwa hadits berperan besar dalam historiografi Islam, seandainya hadits tidak dikodifikasikan, dan tidak diseleksi keaslian dan kepelsuanya, maka niscaya umat Islam akan terputus tali sejarahnya, suri tauladanya, dan sumber hukumnya yang telah disampaikan oleh baginda Nabi Saw. Efeknya bukan hanya sampai di situ, akan tetapi umat Islam akan menjadi liberal dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an karena kehilangan bayan Nabawi sebagai panjelasan Nabi terhadap Al-Qur’an.
Dari keempat point di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan dan peran hadits sangatlah urgen, hal ini dikarenakan keberadaan hadits bukan hanya sebagai sumber hukum dan penjelas bayan Ilahi, akan tetapi hadits juga sebagai sumber referensi sejarah yang  menceritakan bagaimana kehidupan Nabi dan para sahabat, bagaimana tindak tanduknya, bagaimana toleransi umat Islam pada agama lain, bagaimana Islam juga mengangkat derajat wanita, mengajarkan tatacara hidup harmonis, menanamkan dan mengajarkan hidup berbangsa dan bernegara, dan menginformasikan kisah-kisah uma terdahulu serta  prediksi sejarah umat manusia yang akan datang.

B.     Latar Belakang hadits sebagai  bagian dari Historiografi Islam awal

Sebenarnya jauh sebelum pengkodifikasian hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz, pada masa Muawiyah sudah ada penulisan sejarah yang ditulis oleh Abdullah bin Syariyyah al-Jurhumi dari San’a (Yaman) atas perintah Muawiyah, ia menulis tentang raja-raja dan peristiwa-peristiwa masa lalu. Oleh karena sebelumnya penulisan hadits dilarang oleh Nabi hingga pada masa Umar bin Adbul Aziz, dengan alasan yang paling utama yakni hawatir bercampurnya hadits dan Al-Qur’an. Sebenarnya upaya penulisan hadits sudah direncanakan oleh Umar bin Khattab, akan tetapi hal itu tidak terlaksana larena hawatir jika pada masa itu penulisan hadits dilakukan, perhatian umat islam berpaling dari Al-Qur’an, dan lebih suka memfokuskan diri pada hadits, hal inilah yang menjadi pertimbangan Umar bin Khattab. Satu hal yang paling penting, bahwa yang menjadi latar belakang hadits sebagai bagian dari historiogrsfi  karena peran hadits mempunyai kesamaan dengaan sejarah. Persamaanya adalah :
1.      Hadits dan sejarah sama-sama menceritakan tentang masa lalu, baik itu bersumber dari lisan atu pun tulisan.
2.      Keduanya sama-sama mengungkap masa lalu secara ilmiah dan bertahap.
3.      Dalam upaya pencarian data, masing-masing peneliti melakukan rihlah ilmiah ke berbagai daerah demi menemukan sumber informasi yang valid.
Paling tidak itu beberapa kesamaan antara hadits dan sejarah, adapun mengenai perbedaanya kita bisa lihat sendiri dengan analisis masing-masing. Hubungan hadits dengan sejarah tidak akan terpisahkan karena keduanya saling berkaitan erat dan saling melengkapi, sehingga ini pun menjadi satu alasan bahwa hadits bagian dari historiografi Islam awal.
Perjalanan hadits dalam upaya pengkodifikasianya bukanlah tanpa sebab seperti halnya pengkodifikasianya Al-Qur’an, dimana pada saat itu terjadi berbagai masalah basar dalam hal teologi, politik, dan berbagaimacam kepentingan golongan yang menjadikan hadis semrawut, hal itulah yang melatar belakangi pengkodifikasian hadits dan munculnya ilmu mustolahul hadits yakni satu ilmu yang mengkaji dan mengkritisi keotentikan hadits. Dalam hal ini kami mencoba mengungkapkan bagaimana parkembangan literatur hadits dan  keterkaitan hadits dan historiograf sebagai bahan kajian pelengkap.[7]
C.    Perkembangan Awal Literatur Hadis
Istilah Arab hadits (jamak, ahadits) secara harfiah berarti cerita, komunikasi,percakapan. apakah bersifat keagamaan atau sekular, historis atau legendaris, benar atau palsu berkaitan dengan masa sekarang atau dengan masa silam belum lama ini atau masa lampau yang jauh. Jika digunakan sebagai kata sifat, kata hadis berarti baru sebagai kebalikan qadim (lama). Kata hadis berkaitan sangat erat dengan kata Sunnah yang berarti jalan ketentuan,cara bertindak untuk menempuh kehidupan.
Singkatnya, literatur hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Nabi Muhammad mengenai perkataannya; perbuatan dan keputusannya; persetujuannya secara diam atas perbuatan dan tingkah laku Sahabat-sahabatnya; dan juga gambaran tentang kepribadiannya sendiri. Jadi, literatur hadis berarti literatur yang mencakup riwayat (narasi) tentang kehidupan Nabi dan hal-hal yang disetujuinya, sementara Sunnah berarti modus kehidupan Nabi. Kedua istilah ini digunakan hampir secara bergantian, meskipun sebenarnya terdapat beberapa perbedaan di antara keduanya.
Di sini Fazlur Rahman menyebut hadis sebagai verbal tradition, sementara Sunnah sebagai practical tradition atau silent tradition. Karena perbedaan di antara hadis dan Sunnah hakikatnya hanya bersifat teoritis, kita menggunakan keduanya dalam pengertian yang lebih kurang sama. Hadis bersumber dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi Muhammad; ia menyebar secara simultan dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Laskar Muslim yang menaklukkan Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar Sahabat yang membawa hadis ke mana pun mereka pergi. Bahwa hadis Nabi pasti telah ada sejak masa paling awal Islam adalah fakta yang tidak perlu diragukan. Bahkan sepanjang masa kehidapan Nabi, cukup alamiah bagi kaum Muslim untuk berbicara tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi.
Lebih jauh, bangsa Arab yang menghafal dan mewariskan syair berbagai penyair mereka, ucapan para peramal nasib, dan pernyataan pemimpin kabilah mereka, bisa dipastikan tidak luput memperhatikan dan meriwayatkan perbuatan dan perkataan seseorang yang mereka akui sebagai Utusan Allah. Demikian, menurut Rahman, penolakan atas fenomena alami ini sama artinya dengan irasionalitas berlebihan sebuah dosa terhadap sejarah. Tetapi perlu dicatat bahwa hadis pada masa hidupnya Nabi umumnya merupakan masalah informal; kebutuhan satu-satunya terhadap hadis adalah guna memperoleh bimbingan dalam praktik aktual kaum Muslim; dan kebutuhan ini dipenuhi oleh Nabi sendiri.
Setelah Nabi wafat, hadis kelihatannya mencapai status semi-formal, karena cukup alamiah bagi generasi sesudahnya untuk tahu segala sesuatu mengenai Nabi. Tetapi terdapat kontroversi baik di kalangan sarjana Muslim maupun Barat tentang masa pasti permulaan penulisan hadis. Di kalangan kaum Muslim terdapat pandangan bahwa hadis diriwayatkan secara lisan setidak-tidaknya selama seratus tahun. Lebih jauh, menurut pendapat ini, adalah Umar bin Abd Al-Aziz yang pertama kali meminta Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm Al-Zuhri dan lain-lain mengumpulkan hadis. Beberapa sarjana Barat juga memegang pendapat ini. Muir, misalnya, berpendapat tidak terdapat bukti otentik mengenai pencatatan tertulis hadis lebih awal dari pertengahan abad kedua Hijri.
Dia mendukung pandangan tentang terdapatnya banyak data tentang shuhuf (lembaran-lembaran) bertulisan hadis sejak dari generasi pertama Islam. Tetapi Goldziher skeptis tentang apakah shuhuf itu ditulis generasi-generasi lebih belakang atau tidak Melebihi Goldziher, Margoliouth menyatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan Sunnah atau hadis di luar Al-Quran, dan generasi-generasi Muslim lebih belakangan membuat Sunnah dan hadis Nabi Muhammad. Segaris dengan pendapat ini, Schacht berargumen bahwa hadis disebarkan sejak paruh pertama abad kedua Hijri, dan hanya Al-Syafi’i (w. 204/819) yang mengamankan hadis dengan otoritas Nabi. Schacht bersikeras bahwa hampir seluruh hadis hukum dibikin setelah wafatnya Umar bin Abd Al-Aziz.
Pendapat sebagian orientalis di atas dibantah Azami, ahli hadis paling menonjol di Dunia Muslim kontemporer. Menurut dia, pendapat umum tentang terlambatnya penulisan hadis dan tentang periwayatan hadis secara lisan selama lebih dari seratus tahun berkaitan dengan informasi keliru yang diberikan beberapa muhadditsun. Di antara mereka ada yang memberikan nama para pengumpul pertama hadis, yang sebenarnya hidup dalam periode pertengahan paruh kedua atau akhir paruh kedua abad kedua Hijriyah. Pendapat umum ini juga muncul karena miskonsepsi dan misinterpretasi atas istilah-istilah semacam tadwin (pengumpulan), tashnif (klasifikasi) atau kitabah (penulisan).[8]
Terdapat pula misinterpretasi tentang kata haddatsana (ia meriwayatkan kepada kami), akhbarana (ia mengabarkan kepada kami), dan (diriwayatkan dari), yang pada umumnya dipahami dalam pengertian periwayatan lisan. Padahal sebenarnya ketiga kata ini digunakan untuk menunjukkan metode dokumentasi, yang mengambil beberapa bentuk, seperti penyalinan dari dokumen tertulis, penulisan dari sumber tertulis melalui diktasi, pembacaan dokumen tertulis oleh seorang guru atau murid, periwayatan dokumen secara lisan dan diterimanya atau direkamnya secara lisan oleh murid-murid. Sprenger, ahli hadis paling awal di kalangan orientalis, setuju dengan poin terakhir. Menurutnya, kata haddatsana, misalnya, biasanya tidak berarti periwayatan lisan, karena sejak masa awal Islam sudah menjadi kebiasaan di kalangan kaum Muslim untuk mengacu kepada pengarang ketimbang kepada karya.
Anggapan umum tentang terlambatnya pencatatan hadis juga bersumber dari hadis-hadis yang melarang kitabah (penulisan) hadis. Memang terdapat hadis-hadis yang melarang penulisan segala sesuatu selain ayat Al-Quran umumnya dan hadis khususnya. Hadis-hadis yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga Sahabat: Abu Said Al-Khudri, Abu Hurayrah, dan Zayd bin Tsabit. Menurut Azami, hadis-hadis itu dipertikaikan di antara para pakar Muslim. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah dan Zayd bin Tsabit mempunyai cacat, sementara otentisitas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri digugat pakar setingkat Al-Bukhari.
Pada pihak lain terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menyetujui pencatatan hadis. Nabi sendiri mengirim banyak surat, sebagian di antaranya sangat panjang, mengandung bacaan untuk shalat dan ibadah lain. Bahkan, Al-Quran menuntut kaum Muslim mencatat transaksi bisnis mereka. Karena itu, seperti dikemukakan Sprenger, Muhammad tidak dapat dikatakan mempunyai keberatan atas penulisan hadis. Agaknya karena alasan ini, orang dapat menemukan banyak Sahabat yang menulis dan mencatat hadis. Dengan memperhatikan hal ini, kita sampai kepada kesimpulan bahwa ketidaksetujuan Nabi atas penulisan hadis sangat mungkin berarti penulisan materi Al-Quran dan bukan Al-Quran pada lembaran yang sama, sebab ini bisa menimbulkan kekacauan.
Terdapat teori lain bahwa kaum Muslim dilarang oleh Nabi untuk menuliskan hadis karena seluruh perhatian harus ditumpahkan kepada Al-Quran dan penyelamatannya; dan belakangan, ketika tidak ada lagi bahaya terlalaikannya Al-Quran, larangan itu dihapuskan dan izin diberikan untuk penulisan hadis. Menurut Goldziher, pemilihan kata matan untuk menyebut teks hadis- dalam perbandingan dengan pendokumentasiannya melalui mata rantai isnad dapat menjadi bukti kekeliruan asumsi sementara Muslim bahwa penulisan hadis semula dilarang, dan bahwa hadis dijadikan sebagai tradisi oral dan verbal belaka.
Sebaliknya bisa diasumsikan bahwa penulisan hadis merupakan metode tertua dalam pemeliharaannya. Keengganan memeliharanya dalam bentuk tertulis semata-mata merupakan hasil dari pertimbangan belakangan. Bagian-bagian tertua dari materi hadis sangat mungkin adalah materi yang telah diselamatkan dalam bentuk tertulis sejak dekade-dekade pertama Islam. Tiada sesuatu pun yang bertentangan dengan asumsi bahwa para Sahabat mencatat hadis dengan maksud memelihara ucapan dan keputusan Nabi agar tidak terlupakan. Bagaimana mungkin masyarakat yang memelihara ucapan hikmah manusia biasa dalam shuhuf membiarkan kelestarian hadis Nabi dalam periwayatan lisan belaka? Sangat banyak Sahabat yang membawa shuhuf ke mana pun mereka pergi dan menggunakannya sebagai bahan dalam pendidikan di lingkungan mereka.
Sejak masa paling awal dalam sejarah Islam, ulama membuat pembedaan antara hadis hukum (ahadits al-ahkam) dengan hadis yang murni historis. Rahman menyebut hadis hukum sebagai hadis dogmatis atau teknis, yakni hadis yang menyangkut keimanan dan ibadah. Ulama sangat hati-hati dan kritis dalam menangani hadis hukum; sebaliknya mereka cukup longgar ketika menghadapi hadis historis. Ini tidak mengherankan karena seluruh ahli hukum (fuqaha) awal sepakat berpendapat bahwa setiap hadis Nabi yang bersifat keagamaan dan yang terbukti sahih sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan, mempunyai signifikansi hukum yang tinggi  berada pada tingkatan kedua hanya setelah Al-Quran. Tetapi jumlah hadis hukum kelihatan tidak terlalu banyak, khususnya jika dibandingkan dengan luar biasanya jumlah hadis, seperti diungkapkan beberapa muhaddits paling awal.[9]
Di sini kita tidak berminat mengkaji berbagai aspek hadis hukum, melainkan akan membahas aspek hadis historis yang memunculkan historiografi awal Islam. Tetapi, jelas tak bisa dibantah pengkajian dan pengumpulan hadis hukum turut memberikan sumbangan berharga kepada kemunculan historiografi awal Islam. Seperti dikemukakan Duri, kebangkitan tulisan sejarah sejak masa awal Islam merupakan bagian integral dari perkembangan kebudayaan Islam umumnya; historiografi Islam berkaitan sangat erat dengan kebangkitan disiplin hadis.
Memang benar bahwa sebelum kedatangan Islam, beberapa kabilah Arab tertentu, khususnya kabilah Himyar dan Saba di Yaman, memelihara semacam bentuk riwayat historis tertulis mengenai, misalnya, dokumen dan catatan genealogis dan riwayat tentang kejadian-kejadian di lingkungan kabilah mereka. Sebagian orang Arab di kawasan utara juga mempunyai riwayat lisan atau cerita tentang tuhan-tuhan dan para penguasa mereka; tentang masalah sosial dan penghidupan mereka. Bagian pokok dari riwayat seperti ini berkenaan dengan ekspedisi militer dan peperangan (ayyam), yang kemudian menjadi unsur penting dalam tulisan sejarah awal. Tetapi masa jahiliah tidak meninggalkan literatur tertulis cukup berarti, karena ia merupakan zaman kebudayaan lisan.
Islam memberikan kesadaran sejarah baru kepada bangsa Arab. Generasi Muslim pertama, didorong oleh semangat keagamaan dan kesalehan, mengumpulkan riwayat dan laporan tentang kehidupan Nabi dan perjuangannya dalam menyampaikan Islam. Riwayat-riwayat tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi sepanjang misi sucinya akhirnya dikumpulkan dan disistematisasikan sebagai Kumpulan Hadis. Jadi, historiografi awal Islam, seperti dikemukakan Duri, bersumber dari dua perspektif fundamental: pertama, perspektif Islami, yang muncul di kalangan muhadditsun; dan kedua, perspektif kekabilahan atau perspektif ayyam. Kedua pandangan ini mencerminkan dua arus besar dalam masyarakat Islam di masa awal; arus kekabilahan diwakili bertahannya warisan budaya kabilah, dan arus Islami yang tercakup dalam prinsip keruhanian dan aktivitasnya.
Setiap perspektif mengembangkan mazhab tulisan sejarahnya sendiri, walaupun keduanya juga saling mempengaruhi. Tetapi pada akhirnya, perspektif Islami mencapai dominasi setelah sudut pandangan muhadditsun tampil ke posisi dominan dalam penulisan sejarah. Berkat pengumpulan hadis, tersedia amat banyak bahan yang mempunyai berrnacam nilai, yang selanjutnya disaring dan dicerna para pakar sesuai keahlian masing-masing. Dalam hubungan dengan kenyataan inilah hukum Islam berkembang berbarengan dengan seni historiografi. Bahkan Abbott menyatakan bahwa hadis dan sejarah merupakan disiplin kembar, walaupun keduanya tidaklah identik. Dalam dekade-dekade pertama Islam, keduanya terutama merupakan pelengkap bagi penafsiran Al-Quran dan juga sebagai pendukung bagi penyusunan riwayat hidup Nabi Muhammad.
Karenanya, sering terdapat duplikasi dalam isi disiplin hadis dan sejarah. Materi hadis yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah Islam di masa awal, seperti maghazi (razia atau serangan militer), sirah (biografi), asma al-rijal (biografi perawi hadis), dan semacamnya. Tulisan sejarah semacam ini dalam perkembangannya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan sejarah universal dan lokal. Pada saat yang sama, metode isnad dalam periwayatan hadis, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis juga mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Berikut kita akan membahas tiga jenis historiografi awal tersebut lengkap dengan metode eksposisi mereka. [10]



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelas bahwa kemunculan historiografi awal Islam berkaitan erat dengan perkembangan doktrinal dan sosial Islam itu sendiri. Kesadaran sejarah Muslim dibangkitkan oleh Al-Quran dengan memberikan rujukan kepada hikmah yang dapat diambil dari sejarah; Al-Quran juga mengungkapkan riwayat penciptaan, nabi-nabi, kebangkitan, surga dan neraka. Sementara itu, Nabi Muhammad menunjukkan wawasan historis yang tajam dan luas tentang masa lampau yang mempengaruhi atau bahkan menentukan masa depanmanusia.
            Para penulis historiografi paling awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan adalah muhadditsun. Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan kelestarian misi historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri pada studi hadis. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan hadis baik yang bersifat hukum maupun historis.
B.     SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kami menunggu kritik dan saran dari pembaca, akhirukalam semoga bermanfaat.






DAFTAR PUSTAKA

Tohir, Ajid. 2014. Filologi Nusantra. Jurnal Taswirul Afkar . edisi no. 34. Jakarta,

Saefullah, Yusuf  M., Cecep Sumarna, Wasman, 2000. Ulumul Hadits. Cirebon.
Herawati, Ira. 2005. Sejarah Kebudayaan Islam. Bandung
Muhammad, Sayyid bil Akawi. 1995. Ringkasan Sejarah Nabi Muhammad. Darul Hidayah. Bandung.
http://sadeqin.com/ml/article.php?mod=4&id=419. (di akses pada 7 oktober 2015 pukul 07.00)




[1] .Ajid Tohir, 2014. Filologi Nusantra. Jurnal Taswirul Afkar . edisi no. 34. Jakarta, hlm. 38
[2] .Yusuf Saefullah M., Cecep Sumarna, Wasman, 2000. Ulumul Hadits. Cirebon. Hml. 9
[3] .Ibid. hml. 10
[4] .Ibid. hml. 16
[5]. Ira Herawati, 2005. Sejarah Kebudayaan Islam.angkasa Group,  Bandung. Hlm. 4
[6] Ibid. Hlm 17
[7] Sayyid Muhammad bil akkawi, 1995 ,Ringkasan Sejarah Nabi, Darul hidayah, Bandung. Hlm 10.
[8] Ibid. Hlm 14.
[9] http://sadeqin.com/ml/article.php?mod=4&id=419
[10] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar