BAB
II
PEMBAHASAN
A. Peran
hadits dalam perkembangan historiografi Islam awal
Hadits merupakan sumber informasi yang dapat berfungsi sebagai bayan dari ayat-ayat al-Quran yang terkadang masih sulit untuk dipahami dan dimengerti secara rinci. Hadits juga merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an yang berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan para sahabat pada masanya. Peran hadits bukan hanya sampai di situ, akan tetapi hadis juga bisa dijadikan sebagai sumber referensi sejarah yang menceritakan bagaimana perjalanan Rasululah dalam mengembangkan agama Islam di tanah Haromain. Oleh kerena itu hadits merupakan bagian dari Historiografi Islam pada masa awal perkembangan Islam karena hadits telah mencatat bagaimana hal ihwal Rasulullah sehari-hari, perjalanan sejarah dari mulai nabi Adam, zaman fatroh, bahkan prediksi Rasulullah mengenai keadaan umat manusia ke depan.
Peran hadits dalam perjalanan Historiografi Islam awal sangatlah signifikan, karena hadits pada awalnya merupakan tradisi lisan yang secara umum tidak boleh ditulis karena hawatir bercampur dengan al-Quran. Hal yang menarik mengapa hadits termasuk bagian dari historiografi Islam adalah karena hadits mencatat dan merekam segala aktivitas Nabi Saw bersama para sahabat-sahabatnya, dimana semua permasalahan yang berkaitan dengan hukum syari’ah, aqidah dan mu’amalah dijawab oleh Nabi Saw, dan perkataan Nabi itu kemudian dihafal oleh para sahabat-sahabatnya, lalu disampaikan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak hadir dan begitu seterusnya hingga hal itu menjadi sebuah riwayat yang dituturkan dari lisan ke lisan yang kemudian dalam ilmu hadits disebut dengan sanad.
Historiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam pertama kali disampaikan Nabi Muhammad saw. Bahkan di dalam tradisi Arab pra Islam, orang-orang Arab sudah mengenal tradisi penulisan sejarah yang disebut “Ayyam al-‘Arab” untuk mengabadikan perjalan sukunya dan menceritakn tentang keunggulan suku-suku mereka.[1] Walaupun diawal perkembangan Islam nabi melarang penulisan hadits karena dihawatirkan bercampur dengan al-Quran, akan tetapi hal itu hanya bersifat umum, pada kenyataanya ada beberapa orang sahabat yang dibolehkan oleh nabi untuk menulis hadits karena kurang kuatnya hafalan seperti Abdullah bin amr bin as.
Larangan penulisan hadits bukanlah larangan yang bersifat mutlak, hal ini
dibuktikan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Diceritakan
bahwa sesaat setelah peristiwa Fathul Makkah
Nabi berpidato dihadapan para sahabat. Disela pidatonya tiba-tiba
seorang laki-laki bernama Abu Syah dari yaman bertanya: Ya Rasulullah tulislah
untukku ! jawab Rasul, tulis kamulah untuknya.[2]
Pada dasarnya, perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas Muslim itu sendiri.
Seperti kita ketahui bahwa
ketika Nabi masih hidup, berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim
dapat dipecahkan dengan otoritas Al-Quran atau Nabi Muhammad sendiri.
Tetapi setelah beliau wafat, kaum Muslim
menghadapi persoalan-persoalan baru dan tidak dapat menemukan bimbingan
eksplisit dari Al-Quran, dan ketika
terdapat perbedaan penafsiran ayat Al-Quran di kalangan Muslim, maka otoritas
terbaik adalah perbuatan dan perkataan Nabi, yakni hadis (Sunnah).
Kemudian,
selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk langsung kepada hadis
Nabi, karena mereka menyaksikan langsung kehidupan beliau. Tetapi ketika
semakin banyak Sahabat yang wafat, sejalan dengan kian banyaknya masalah yang
muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang, kaum Muslim semakin merasakan
perlunya mengumpulkan informasi yang diucapkan Nabi untuk menjawab semua permasalahan hukum yang terjadi pasca Nabi dan
sahabat. Dengan demikian, kita bisa merasakan betapa pentingnya peran hadits
dalam historiografi sebagai solusi semua permasalahan umat. Adapun secara
rinci, peran hadits dalam perkembangan historiografi Islam awal, adalah sebagai berikut.
1. Hadits berperan sebagai
sumber sejarah.
Maksudnya keberadaan
hadits sekarang adalah berfungsi sebagai sumber sejarah, karena hadits
menceritakan beraneka macam ragam kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Hal
ini dikarenakan hadits mempunyai Asbab
al-Wurud (sebab turunya hadits) atau bisa dikatan yang melatar belakangi
turunya hadits, karena adanya satu persoaalan, permasalahan dan pemberitaan
yang penting untuk disampaikan oleh Nabi Saw. Dalam hal ini perlu adanya
ketelitian dan kehati-hatian dalam memahami kontekstual hadits pada masa itu, maka
disitulah peran Asbab al-Wurud yakni
untuk memahami konteks hadits yang dikehendaki oleh Nabi Saw, sehingga muncul
beberapa pertanyaan bagi kita yakni, bagaimana kita mau meneladani ucapan dan
perbuatan Nabi Saw ?, kalau kita tidak mengetahui sejarah Nabi Saw?, dan
bagaimana kita mau mengetahui sejarah Nabi Saw ?, kalau hadits bukan bagian
dari sumber sejarah yang diriwayatkan dari sahabat ke tabi’in, dari tabi’in ke tabi’ittabi’in dari tabi’ittabi’in ke ashabuttabi’in
dari ashabuttabi’in ke ‘ulama, dan dari ‘ulama sampailah kepada kita semua sebagai pecinta sejarah.
2. Hadits berperan sebagai
catatan sejarah.
Maksudnya adalah
keberadaan ratusan kitab-kitab hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
al-Muatta Imam Malik, Musnad Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan
lain sebagainya adalah bagian dari kumpulan catatan sejarah mengenai perilaku
Nabi Saw yang dimuat dalam kitab hadits. Walaupun seperti yang kita ketahui
bersama bahwa dimasa Nabi penulisan hadits itu dilarang karena hawatir
bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an, akan tetapi itu hanya bersifat umum,
buktinya ada beberapa sahabat yang dibolehkan oleh Nabi untuk menulis apa yang
diucapkan oleh Nabi seperti Abdullah bin Amr bin As.[3]
Keberadaan dan peran hadits sebagai bagian dari catatn sejarah ini mulai
diperhatikan mulai ahir abad pertama hijriyyah, ha l ini dikarenakan dimasa itu
terjadi fregmentasi politik yang mengakibatkan banyaknya oknum-oknum tertentu
yang memanfaatkan hadits sebagai alat legitimasi kelompok tertentu, bahkan
tidak segan-segan membuat hadits palsu yang mengatasnamakan Nabi Saw. Ahirnya
pada tahun 99 H Khalifah Umar bi abdul Aziz memerintahkan kepada salah satu
gubernur bernama Abu Bakar Ibn Hazm dan beberapa Ulama, untuk menuliskan hadits
secara rinci dan teliti karena kehawatiranya dengan situasi yang ada dan
hilangnya ilmu, serta lenyapnya para Ulama.[4]
Salah satu ulama yang
paling menonjol yang dianggap sebagai peletak fondasi pengkodifikasian hadits
adalah Abu Bakar bin Muhamad bin Syihab Az-Zuhri yakni seorang yang ahli fiqh
dan hadits pada zamanya yang wafat tahun 123 H. Beliau diperintahkan oleh
Khalifah untuk mengumpulkan hadits. Perintah Khalifah ini telah melahirkan
methode pendidikan alternatif, yaitu para ulama mencari hadits-hadits kepada
orang-orang yang dianggap mengetahuinya di berbagai tempat yang kemudian
dikenal dengan methode rihlah.[5]
3. Hadits berperan sebagai
filsafat sejarah.
Maksudnya adalah hadits
mempunyai otoritas kebenaran yang unggul dan ilmiah, hal ini dikarenakan
penyeleksian hadits yang melewati berbagai macam tahap dan methode yang bisa
dikatakan sulit untuk mencapai kata shahih. Penyeluksian ini bukan hanya
mencakup matan dan sanad saja, akan tetapi sampai pada rawi yang meriwayatkanya
juga. Dalam hal ini kredibilitas rawi dan ketakwaan rawi sangat berperan besar,
karena seorang rawi mestilah orang yang ‘adil dan hati-hati dalam berperilaku,
kriteria semacam inilah yang tidak ditentukan oleh para sejarawan (Muarrikh),
sehingga banyak sekali bermunculan para sejarawan yang liberal dan tak
bermoral, yang seenaknya sendiri memutar balikan fakta sejarah, sehingga
melahirkan beraneka macam ragam kontroversi dan kontradiksi yang membingungkan
umat.
Alasan lain mengapa hadits berperan sebagai filsafat sejarah adalah karena
kebenaran sejarah yang berupa hadits yang sudah melewati tahap takhrij dan
tahqiq, kebenaran dan keotentikanya melebihi kebenaran sejarah yang telah
melewati tahapan interpretasi dan verivikasi, selain adanya ancaman dari Nabi
dalam sabdanya bahwa “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
hendaknya ia siap-siap menempati tempat duduknya kelak di neraka”, adanya
methode Jar wa ta’dil menjadikan kebenaran dan validitas hadits semakin tak
terbantahkan lagi. Hal yang demikian pun sebenarnya ada dalam ilmu sejarah
lisan, yang juga menyinggung tentang keadaan saksi sejarah ataupun pelaku
sejarah atu paling tidak sebagai keturunan dari pelaku sejarah yang dipercaya
mempunyai otoritas penuh untuk berbicara dengan para pencari data sejarah.
Oleh sebab itu pada hakikatnya antara sejarah dan hadits keduanya memang
saling melengkapi. (simbiosis mutualisme). Hal ini terbukti,dengan adanya
hadits sebagai salah satu pengetahuan induk mengenai sejarah Islam yang di bawa
oleh Nabi, pada era selanjutnya muncul dan berkembang kitab-kitab sejarah
seperti Sirrah Nabawiah, baik itu Sirah Ibn Ishak ataupun Ibn Hiyam, kemudian
muncul Tarikh Tobari, Al-kamil 7 jilid, Tarikh Ibn Khaldun, Al-Bidayah
Wan-Nihayah hingga penulisan sejarah dalam bentuk Maulid Al-Barzanji, Maulid
Ad-iba’i, Simtudduror dan muncul juga Manaqib atau hagiografi.
4. Hadits berperan sebagai
sebagai bagian dari Historiografi Islam.
Maksudnya adalah kemunculan agama Islam
sebagai agama baru di Makkah telah memberikan pencerahan akhlak dan ilmu
pengetahuan, jika sebelum datangnya agama Islam tradisi tulis menulis masih
jarang ditemui, dan masyarakat setempat lebih suka budaya lisan untuk
menceritakan kisah-kisah di masa lalu, maka hal ini berbeda ketika Islam hadir
dengan membawa teuhid dan ilmu pengetahuan. Salah satu tradisi tulis menulis
yang awal dilakukan adalah dengan dibentuknya dewan sekretaris wahyu yang
diketuai oleh Zaid bin Tsabit. Berawal dri sinilah tradisi tulis menulis mulai
berkembang, walaupun tidak semua sahabat terlibat dalam penulisan Al-Qur’an.
Seiring berjalanya waktu dalam perjalanan rasm Al-Qur’an, ternyata
penulisan hadits pun ikut berkembang dikalangan sahabat, hal ini memang
bersifat khusus seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Buktinya banyak dari
sahabat-sahabat Nabi yang mempunyai sahifah (catatan hadits) seperti Abu Syah,
Abdullah bin Amr bin As, Jubair bin Abdullah al-Ansori, bahkan dalam satu
riwayat Ali bin Abi Thalib pun mempunyai shahifah yang berisi tentang
hukum-hukum diyat. Peran hadits dalam historiografi Islam semakin meruncing
ketika terjadi beberapa faktor yang terjadi pada umat Islam semenjak kewafatan
Ali bin Abi Thalib hingga pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99 H).[6]
Faktor yang pertama adalah karena terjadi fregmentasi politik yang
menjadikan agama Islam pecah menjadi firqoh-firqoh kecil yang banyak
memanfaatkan hadits sebagai alat legitimasi. Faktor yang kedua adalah karena
banyaknya para sahabat yang hafal hadits-hasits Nabi yang wafat, dan yang
ketiga adalah karena hawatir hadits akan hilang begitu saja karena banyaknya
para ulama yang tidak memperhaatikan penghimpunan hadits, padahal statusnya
sebagai sumber hukum yang ke dua setelah Al-Qur’an. Maka dari sinilah
hadits-hadits nabi mulai dikodifikasikan dan di sleeksi mana hadits-hadits yang
tergolong maqbul (diterima) dan mana yang mardud (ditolak).
Pengkodifikasian inilah yeng kemudian dikatakan bahwa hadits berperan besar
dalam historiografi Islam, seandainya hadits tidak dikodifikasikan, dan tidak
diseleksi keaslian dan kepelsuanya, maka niscaya umat Islam akan terputus tali
sejarahnya, suri tauladanya, dan sumber hukumnya yang telah disampaikan oleh
baginda Nabi Saw. Efeknya bukan hanya sampai di situ, akan tetapi umat Islam
akan menjadi liberal dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an karena kehilangan bayan
Nabawi sebagai panjelasan Nabi terhadap Al-Qur’an.
Dari keempat point di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan dan peran hadits sangatlah urgen,
hal ini dikarenakan keberadaan hadits bukan hanya sebagai sumber hukum dan
penjelas bayan Ilahi, akan tetapi hadits juga sebagai sumber referensi sejarah
yang menceritakan bagaimana kehidupan
Nabi dan para sahabat, bagaimana tindak tanduknya, bagaimana toleransi umat
Islam pada agama lain, bagaimana Islam juga mengangkat derajat wanita,
mengajarkan tatacara hidup harmonis, menanamkan dan mengajarkan hidup berbangsa
dan bernegara, dan menginformasikan kisah-kisah uma terdahulu serta prediksi sejarah umat manusia yang akan
datang.
B.
Latar Belakang hadits sebagai bagian
dari Historiografi Islam awal
Sebenarnya jauh sebelum
pengkodifikasian hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz, pada masa Muawiyah sudah
ada penulisan sejarah yang ditulis oleh Abdullah bin Syariyyah al-Jurhumi dari
San’a (Yaman) atas perintah Muawiyah, ia menulis tentang raja-raja dan
peristiwa-peristiwa masa lalu. Oleh karena sebelumnya penulisan hadits dilarang
oleh Nabi hingga pada masa Umar bin Adbul Aziz, dengan alasan yang paling utama
yakni hawatir bercampurnya hadits dan Al-Qur’an. Sebenarnya upaya penulisan
hadits sudah direncanakan oleh Umar bin Khattab, akan tetapi hal itu tidak
terlaksana larena hawatir jika pada masa itu penulisan hadits dilakukan, perhatian
umat islam berpaling dari Al-Qur’an, dan lebih suka memfokuskan diri pada
hadits, hal inilah yang menjadi pertimbangan Umar bin Khattab. Satu hal yang
paling penting, bahwa yang menjadi latar belakang hadits sebagai bagian dari
historiogrsfi karena peran hadits
mempunyai kesamaan dengaan sejarah. Persamaanya adalah :
1. Hadits dan sejarah sama-sama menceritakan tentang masa lalu, baik itu
bersumber dari lisan atu pun tulisan.
2. Keduanya sama-sama mengungkap masa lalu secara ilmiah dan bertahap.
3. Dalam upaya pencarian data, masing-masing peneliti melakukan rihlah ilmiah
ke berbagai daerah demi menemukan sumber informasi yang valid.
Paling tidak itu beberapa kesamaan antara hadits dan sejarah, adapun
mengenai perbedaanya kita bisa lihat sendiri dengan analisis masing-masing.
Hubungan hadits dengan sejarah tidak akan terpisahkan karena keduanya saling
berkaitan erat dan saling melengkapi, sehingga ini pun menjadi satu alasan
bahwa hadits bagian dari historiografi Islam awal.
Perjalanan hadits dalam upaya pengkodifikasianya bukanlah tanpa sebab
seperti halnya pengkodifikasianya Al-Qur’an, dimana pada saat itu terjadi
berbagai masalah basar dalam hal teologi, politik, dan berbagaimacam
kepentingan golongan yang menjadikan hadis semrawut, hal itulah yang melatar
belakangi pengkodifikasian hadits dan munculnya ilmu mustolahul hadits yakni
satu ilmu yang mengkaji dan mengkritisi keotentikan hadits. Dalam hal ini kami
mencoba mengungkapkan bagaimana parkembangan literatur hadits dan keterkaitan hadits dan historiograf sebagai
bahan kajian pelengkap.[7]
C.
Perkembangan Awal Literatur Hadis
Istilah Arab hadits
(jamak, ahadits) secara harfiah berarti cerita, komunikasi,percakapan. apakah bersifat
keagamaan atau sekular, historis atau legendaris, benar atau palsu
berkaitan dengan masa sekarang atau dengan masa silam belum lama ini atau masa
lampau yang jauh. Jika digunakan sebagai kata sifat, kata hadis berarti baru sebagai
kebalikan qadim (lama). Kata hadis berkaitan
sangat erat dengan kata Sunnah yang berarti “jalan” ketentuan,cara bertindak untuk menempuh
kehidupan.
Singkatnya,
literatur hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan atas otoritas Nabi
Muhammad mengenai perkataannya; perbuatan dan keputusannya; persetujuannya
secara diam atas perbuatan dan tingkah laku Sahabat-sahabatnya; dan juga
gambaran tentang kepribadiannya sendiri. Jadi, literatur hadis berarti
literatur yang mencakup riwayat (narasi) tentang kehidupan Nabi dan hal-hal
yang disetujuinya, sementara Sunnah berarti modus kehidupan Nabi. Kedua istilah
ini digunakan hampir secara bergantian, meskipun sebenarnya terdapat beberapa
perbedaan di antara keduanya.
Di sini Fazlur
Rahman menyebut hadis sebagai verbal
tradition, sementara Sunnah sebagai practical
tradition atau silent tradition.
Karena perbedaan di antara hadis dan Sunnah hakikatnya hanya bersifat teoritis, kita
menggunakan keduanya dalam pengertian yang lebih kurang sama. Hadis bersumber
dari dan berkembang dalam kehidupan Nabi Muhammad; ia menyebar secara simultan
dengan penyebaran Islam ke berbagai wilayah. Laskar Muslim yang menaklukkan
Irak, Palestina, Persia, dan Mesir mencakup sejumlah besar Sahabat yang membawa
hadis ke mana pun mereka pergi. Bahwa hadis Nabi pasti telah ada sejak masa
paling awal Islam adalah fakta yang tidak perlu diragukan. Bahkan sepanjang
masa kehidapan Nabi, cukup alamiah bagi kaum Muslim untuk berbicara tentang apa
yang dikatakan dan dikerjakan Nabi.
Lebih jauh,
bangsa Arab yang menghafal dan mewariskan syair berbagai penyair mereka, ucapan
para peramal nasib, dan pernyataan pemimpin kabilah mereka, bisa dipastikan tidak
luput memperhatikan dan meriwayatkan perbuatan dan perkataan seseorang yang
mereka akui sebagai Utusan Allah. Demikian, menurut Rahman, penolakan atas
fenomena alami ini sama artinya dengan irasionalitas berlebihan sebuah dosa
terhadap sejarah. Tetapi perlu
dicatat bahwa hadis pada masa hidupnya Nabi umumnya merupakan masalah informal;
kebutuhan satu-satunya terhadap hadis adalah guna memperoleh bimbingan dalam
praktik aktual kaum Muslim; dan kebutuhan ini dipenuhi oleh Nabi sendiri.
Setelah Nabi
wafat, hadis kelihatannya mencapai status semi-formal, karena cukup alamiah bagi generasi
sesudahnya untuk tahu segala sesuatu mengenai Nabi. Tetapi terdapat kontroversi
baik di kalangan sarjana Muslim maupun Barat tentang masa pasti permulaan
penulisan hadis. Di kalangan kaum Muslim terdapat pandangan bahwa hadis
diriwayatkan secara lisan setidak-tidaknya selama seratus tahun. Lebih jauh,
menurut pendapat ini, adalah Umar bin Abd
Al-Aziz yang pertama kali meminta Abu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm
Al-Zuhri dan lain-lain mengumpulkan hadis. Beberapa sarjana Barat juga memegang
pendapat ini. Muir, misalnya, berpendapat tidak terdapat bukti otentik mengenai
pencatatan tertulis hadis lebih awal dari pertengahan abad kedua Hijri.
Dia mendukung
pandangan tentang terdapatnya banyak data tentang shuhuf (lembaran-lembaran) bertulisan hadis sejak dari generasi
pertama Islam. Tetapi Goldziher skeptis tentang apakah shuhuf itu ditulis
generasi-generasi lebih belakang atau tidak Melebihi Goldziher, Margoliouth
menyatakan bahwa Nabi tidak meninggalkan Sunnah atau hadis di luar Al-Quran,
dan generasi-generasi Muslim lebih belakangan membuat Sunnah dan hadis Nabi
Muhammad. Segaris dengan pendapat ini, Schacht berargumen bahwa hadis
disebarkan sejak paruh pertama abad kedua Hijri, dan hanya Al-Syafi’i (w. 204/819)
yang mengamankan hadis dengan otoritas Nabi. Schacht bersikeras bahwa hampir
seluruh hadis hukum dibikin setelah wafatnya Umar bin Abd
Al-Aziz.
Pendapat
sebagian orientalis di atas dibantah Azami, ahli hadis paling menonjol di Dunia
Muslim kontemporer. Menurut dia, pendapat umum tentang terlambatnya penulisan
hadis dan tentang periwayatan hadis secara lisan selama lebih dari seratus
tahun berkaitan dengan informasi
keliru yang diberikan beberapa muhadditsun.
Di antara mereka ada yang memberikan nama para pengumpul pertama hadis, yang
sebenarnya hidup dalam periode pertengahan paruh kedua atau akhir paruh kedua
abad kedua Hijriyah. Pendapat umum
ini juga muncul karena miskonsepsi dan misinterpretasi atas istilah-istilah
semacam tadwin (pengumpulan), tashnif (klasifikasi)
atau kitabah (penulisan).[8]
Terdapat pula
misinterpretasi tentang kata haddatsana (ia meriwayatkan kepada kami),
akhbarana (ia mengabarkan kepada kami), dan (diriwayatkan dari), yang pada
umumnya dipahami dalam pengertian periwayatan lisan. Padahal sebenarnya ketiga
kata ini digunakan untuk menunjukkan metode dokumentasi, yang mengambil
beberapa bentuk, seperti penyalinan dari dokumen tertulis, penulisan dari sumber
tertulis melalui diktasi, pembacaan dokumen tertulis oleh seorang guru atau
murid, periwayatan dokumen secara lisan dan diterimanya atau direkamnya secara
lisan oleh murid-murid. Sprenger, ahli hadis paling awal di kalangan
orientalis, setuju dengan poin terakhir. Menurutnya, kata haddatsana, misalnya,
biasanya tidak berarti periwayatan lisan, karena sejak masa awal Islam sudah
menjadi kebiasaan di kalangan kaum Muslim untuk mengacu kepada pengarang
ketimbang kepada karya.
Anggapan umum
tentang terlambatnya pencatatan hadis juga bersumber dari hadis-hadis yang
melarang kitabah (penulisan) hadis. Memang terdapat hadis-hadis yang melarang
penulisan segala sesuatu selain ayat Al-Quran umumnya dan hadis khususnya.
Hadis-hadis yang melarang penulisan hadis diriwayatkan oleh tiga Sahabat: Abu
Said Al-Khudri, Abu Hurayrah, dan Zayd bin Tsabit. Menurut
Azami, hadis-hadis itu dipertikaikan di antara para pakar Muslim. Hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah dan Zayd bin Tsabit mempunyai cacat,
sementara otentisitas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri digugat
pakar setingkat Al-Bukhari.
Pada pihak lain
terdapat bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menyetujui
pencatatan hadis. Nabi sendiri mengirim banyak surat, sebagian di antaranya
sangat panjang, mengandung bacaan untuk shalat dan ibadah lain. Bahkan,
Al-Quran menuntut kaum Muslim mencatat transaksi bisnis mereka. Karena
itu, seperti dikemukakan Sprenger, Muhammad tidak dapat dikatakan mempunyai
keberatan atas penulisan hadis. Agaknya karena alasan ini, orang dapat
menemukan banyak Sahabat yang menulis dan mencatat hadis. Dengan memperhatikan
hal ini, kita sampai kepada kesimpulan bahwa ketidaksetujuan Nabi atas
penulisan hadis sangat mungkin berarti penulisan materi Al-Quran dan bukan
Al-Quran pada lembaran yang sama, sebab ini bisa menimbulkan kekacauan.
Terdapat teori
lain bahwa kaum Muslim dilarang oleh Nabi untuk menuliskan hadis karena seluruh
perhatian harus ditumpahkan kepada Al-Quran dan penyelamatannya; dan belakangan,
ketika tidak ada lagi bahaya terlalaikannya Al-Quran, larangan itu dihapuskan
dan izin diberikan untuk penulisan hadis. Menurut Goldziher, pemilihan kata matan untuk
menyebut teks hadis- dalam perbandingan dengan pendokumentasiannya melalui mata
rantai isnad dapat menjadi bukti kekeliruan asumsi sementara
Muslim bahwa penulisan hadis semula dilarang, dan bahwa hadis dijadikan sebagai
tradisi oral dan verbal belaka.
Sebaliknya bisa
diasumsikan bahwa penulisan hadis merupakan metode tertua dalam pemeliharaannya.
Keengganan memeliharanya dalam bentuk tertulis semata-mata merupakan hasil dari
pertimbangan belakangan. Bagian-bagian tertua dari materi hadis sangat mungkin
adalah materi yang telah diselamatkan dalam bentuk tertulis sejak dekade-dekade
pertama Islam. Tiada sesuatu
pun yang bertentangan dengan asumsi bahwa para Sahabat mencatat hadis
dengan maksud memelihara ucapan dan keputusan Nabi agar tidak terlupakan. Bagaimana
mungkin masyarakat yang memelihara ucapan hikmah manusia biasa dalam shuhuf membiarkan
kelestarian hadis Nabi dalam periwayatan lisan belaka? Sangat banyak Sahabat
yang membawa shuhuf ke mana pun mereka pergi dan menggunakannya sebagai bahan
dalam pendidikan di lingkungan mereka.
Sejak masa
paling awal dalam sejarah Islam, ulama membuat pembedaan antara hadis hukum
(ahadits al-ahkam) dengan hadis yang murni historis. Rahman menyebut hadis
hukum sebagai hadis dogmatis atau teknis, yakni hadis yang menyangkut keimanan
dan ibadah. Ulama sangat hati-hati dan kritis dalam menangani hadis hukum;
sebaliknya mereka cukup longgar ketika menghadapi hadis historis. Ini tidak
mengherankan karena seluruh ahli hukum (fuqaha) awal sepakat berpendapat bahwa
setiap hadis Nabi yang bersifat keagamaan dan yang terbukti sahih sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang mereka tetapkan, mempunyai signifikansi hukum yang
tinggi berada pada tingkatan kedua hanya
setelah Al-Quran. Tetapi jumlah hadis hukum kelihatan tidak terlalu banyak,
khususnya jika dibandingkan dengan luar biasanya jumlah hadis, seperti diungkapkan
beberapa muhaddits paling awal.[9]
Di sini kita
tidak berminat mengkaji berbagai aspek hadis hukum, melainkan akan membahas
aspek hadis historis yang memunculkan historiografi awal Islam. Tetapi, jelas
tak bisa dibantah pengkajian dan pengumpulan hadis hukum turut memberikan
sumbangan berharga kepada kemunculan historiografi awal Islam. Seperti
dikemukakan Duri, kebangkitan tulisan sejarah sejak masa awal Islam merupakan
bagian integral dari perkembangan kebudayaan Islam umumnya; historiografi Islam
berkaitan sangat erat dengan kebangkitan disiplin hadis.
Memang benar
bahwa sebelum kedatangan Islam, beberapa kabilah Arab tertentu, khususnya
kabilah Himyar dan Saba di Yaman, memelihara semacam bentuk riwayat historis
tertulis mengenai, misalnya, dokumen dan catatan genealogis dan riwayat tentang
kejadian-kejadian di lingkungan kabilah mereka. Sebagian orang Arab di kawasan
utara juga mempunyai riwayat lisan atau cerita tentang tuhan-tuhan dan para
penguasa mereka; tentang masalah sosial dan penghidupan mereka. Bagian pokok
dari riwayat seperti ini berkenaan dengan ekspedisi militer dan peperangan
(ayyam), yang kemudian menjadi unsur penting dalam tulisan sejarah awal. Tetapi
masa jahiliah tidak meninggalkan literatur tertulis cukup berarti, karena ia merupakan
zaman kebudayaan lisan.
Islam
memberikan kesadaran sejarah baru kepada bangsa Arab. Generasi Muslim pertama,
didorong oleh semangat keagamaan dan kesalehan, mengumpulkan riwayat dan
laporan tentang kehidupan Nabi dan perjuangannya dalam menyampaikan Islam.
Riwayat-riwayat tentang apa yang dikatakan dan dikerjakan Nabi sepanjang misi
sucinya akhirnya dikumpulkan dan disistematisasikan sebagai Kumpulan Hadis.
Jadi, historiografi awal Islam, seperti dikemukakan Duri, bersumber dari dua
perspektif fundamental: pertama, perspektif Islami, yang muncul di kalangan
muhadditsun; dan kedua, perspektif kekabilahan atau perspektif ayyam. Kedua
pandangan ini mencerminkan dua arus besar dalam masyarakat Islam di masa awal;
arus kekabilahan diwakili bertahannya warisan budaya kabilah, dan arus Islami
yang tercakup dalam prinsip keruhanian dan aktivitasnya.
Setiap
perspektif mengembangkan mazhab tulisan sejarahnya sendiri, walaupun keduanya
juga saling mempengaruhi. Tetapi pada akhirnya, perspektif Islami mencapai dominasi
setelah sudut pandangan muhadditsun tampil ke posisi dominan dalam penulisan
sejarah. Berkat pengumpulan hadis, tersedia amat banyak bahan yang mempunyai
berrnacam nilai, yang selanjutnya disaring dan dicerna para pakar sesuai
keahlian masing-masing. Dalam hubungan dengan kenyataan inilah hukum Islam
berkembang berbarengan dengan seni historiografi. Bahkan Abbott menyatakan
bahwa hadis dan sejarah merupakan disiplin kembar, walaupun keduanya tidaklah
identik. Dalam dekade-dekade pertama Islam, keduanya terutama merupakan
pelengkap bagi penafsiran Al-Quran dan juga sebagai pendukung bagi penyusunan
riwayat hidup Nabi Muhammad.
Karenanya,
sering terdapat duplikasi dalam isi disiplin hadis dan sejarah. Materi hadis
yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah
Islam di masa awal, seperti maghazi (razia atau serangan militer), sirah
(biografi), asma al-rijal
(biografi perawi hadis), dan semacamnya. Tulisan sejarah
semacam ini dalam perkembangannya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan
sejarah universal dan lokal. Pada saat yang sama, metode isnad dalam
periwayatan hadis, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis juga
mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Berikut kita akan membahas tiga
jenis historiografi awal tersebut lengkap dengan metode eksposisi mereka. [10]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di
atas jelas bahwa kemunculan historiografi awal Islam berkaitan erat dengan
perkembangan doktrinal dan sosial Islam itu sendiri. Kesadaran sejarah Muslim
dibangkitkan oleh Al-Quran dengan memberikan rujukan kepada hikmah yang dapat
diambil dari sejarah; Al-Quran juga mengungkapkan riwayat penciptaan,
nabi-nabi, kebangkitan, surga dan neraka. Sementara itu, Nabi Muhammad
menunjukkan wawasan historis yang tajam dan luas tentang masa lampau yang
mempengaruhi atau bahkan menentukan masa depanmanusia.
Para penulis historiografi paling awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan adalah muhadditsun. Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan kelestarian misi historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri pada studi hadis. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan hadis baik yang bersifat hukum maupun historis.
Para penulis historiografi paling awal dalam sejarah Islam hampir secara keseluruhan adalah muhadditsun. Kesadaran dan kepedulian mereka terhadap kemurnian dan kelestarian misi historis Nabi Muhammad mendorong mereka untuk mengabdikan diri pada studi hadis. Inilah yang kemudian memunculkan pengumpulan dan penulisan hadis baik yang bersifat hukum maupun historis.
B. SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Maka dari itu, kami menunggu kritik dan saran dari pembaca,
akhirukalam semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Tohir, Ajid. 2014. Filologi Nusantra. Jurnal Taswirul Afkar
. edisi no. 34. Jakarta,
Saefullah, Yusuf M., Cecep Sumarna,
Wasman, 2000. Ulumul Hadits. Cirebon.
Herawati, Ira. 2005. Sejarah
Kebudayaan Islam. Bandung
Muhammad, Sayyid bil Akawi. 1995. Ringkasan
Sejarah Nabi Muhammad. Darul Hidayah. Bandung.
http://sadeqin.com/ml/article.php?mod=4&id=419. (di akses pada 7 oktober 2015 pukul 07.00)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar