Selasa, 07 November 2017

SEJARAH PENGGERAK MUSLIM KONTEMPORER “PEMIKIRAN ULIL ABSHAR ABDALLA”



SEJARAH PENGGERAK MUSLIM KONTEMPORER
“PEMIKIRAN ULIL ABSHAR ABDALLA”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Sejarah Penggeraak Muslim Kontemporer
Dosen Pengampu: Anwar Sanusi


 







Disusun oleh :
v  Nur Faozah
v  Dian Yuliani
v  Emi Rahmawati


Semester IV/SPI B
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Ulil Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang tokoh Islam Liberal Indonesia yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal. Perseteruannya dengan organisasi Front Pembela Islam dan pengakuannya sebagai seorang muslim liberal banyak mengundang kontroversi. Ulil Abshar lahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya Abdullah Rifa’I, adalah pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Ia dibesarkan dilingkungan keluarga Nahdatul Ulama.

B.     Pendidikan Ulil Abshar Abdalla
Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah Yang diasuh oleh Kiai Haji M. Ahmad Sahal Mahfudz. Dia mendapatkan gelar sarjananya di Fakultas Syari’ah LIPIA ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan memperoleh gelar Doktoral di Boston University, massachussetts, AS. Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai coordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam aktivitas ini, Ulil menuai banyak simpati segaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur. Selain itu Ulil pernah menjadi ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta, serta direktur program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Sebagai politikus, ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengurus Pusat dari Partai Demokrat selama masa jabatan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Kehadiran gagasan Liberalisasi Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan “Islam Liberal” oleh Ulil telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan yang ia usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syari’at Islam.
Dalam artikelnya “Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal” telah menuai banyak kontroversi. Langkahnya yang mendukung pembubaran FPI menuai kecaman dari berbagai umat Islam. Bersama koleganya, Ulil turut mengorganisir Gerakan Indonesia tanpa FPI. Namun ada yang menyebutkan pula bahwa Ulil Abshar di Drop Out dari Universitas LIPIA dan tak lulus dari sana. Kemudian disebutkan juga hal yang sama terjadi ketika ia menempuh pendidikan Doktoral di Harvard. Namun pendapat tersebut masih “kata selintingan” sebagian orang. Berbeda dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, K.H Sahal Mahfudz justru terkenal keras menentang Ahmadiyah. “Romo-Kiyai” begitu para santri memanggil beliau termasuk Ulil meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU dan memakai jurus “atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
K.H Sahal dengan tegas menyatakan dengas tegas bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang bebeda. K.H Sahal Mahfuz pun telah berkali kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama Indonesia.[1] Dalam sebuah buku dikatakan bahwa Ulil menulis diberbagai media massa nasional terkemuka, seperti Tempo, D&R, Forum Keadilan, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Tashwirul Afkar, Kompas, Media Indonesia, Republika, dan Jawa Pos. beberapa tulisannya dimuat di dalam dan di luar negeri. Dan sedang menyiapkan tentang “ Media Massa dan Prasangka Agama”.[2]
C. PEMIKIRAN ULIL ABSHAR ABDALLA
Pemikiran seorang Ulil Abshar Abdalla ini memang terbilang nyleneh dan jauh dari umum. Kita bisa lihat dari kata-kata beliau yang memang bernada liberal namun masih bernafaskan islam. Sontak para cendikiawan yang tidak sependapat dengan beliau menghujamkan berbagai pertanyaan yang memang dari pihak beliau ditanggapi dengan serius. Ada beberapa dialog yang akan kami ambil inti sarinya dari sebuah buku yang memuat perbincangan antara aktivis jaringan islam liberal dengan orang yang sangat kontra dengan JIL. Seperti salah satu pernyataan berikut ini:
“ saya semakin optimis bahwa Islam Liberal ini akan menjadi ‘madzhab’ ke depan yang segera akan menggantikan Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambaly, Ja’fary, dan yang lain. Anggota kita memang terbatas, tetapi melihat pikiran-pikiran teman-teman dalam komunitas ini, saya menjadi yakin bahwa opsi Islam Liberal (lepas dari kontroversi sekitar istilah ini) adalah opsi yang paling masuk akal”
Dengan mengikuti cara Kurzman, tetapi dengan bentuk yang lain ia membagi sekurang-kurangnya ada tiga teologi islam untuk saat ini.
Ø  Pertama, Islam gembar-gembor.
Ø  Kedua, adalah yang disebut sebagai silent syari’ah oleh Kurzman, tetapi ia memaknainya secara berbeda.
Ø  Ketiga, adalah Islam kepala dingin.[3]
Oleh karena itu, agak susah untuk mendefinisikan content Islam sebagaimana diinginkan oleh kelompok ini. Teks keagamaan dalam pandangan mereka dipandang sebagai sesuatu yang bersifat prismatik, artinya dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan, dan penafsiran. Islam dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang belum, atau malah tak pernah selesai. Kelompok ini tidak memandang Barat sebagai musuh, melainkan teman dialog yang justru akan mengembangkan Islam itu sendiri.
Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang tak pernah selesai, tetapi progresif, bergerak terus. Rosulullah sebagai pribadi memang telah wafat, tetapi Nabi sebagai fungsi tetap berjalan dan berlaku sepanjang zaman. Wahyu progresif adalah wahyu yang tidak dipandang berhenti hanya karena wafatnya Rasulullah. Meski Rasulullah telah tiada, “pewahyuan” tetap berjalan terus, yaitu melalui ijtihad manusia melalui rasio dan otak.
Pada tahun 2001 Ia pernah menegaskan bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat. Dekonstruksi makna Islam yang dilakukan oleh Ulil dan kawan-kawan sebenarnya merupakan dekonstruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad, munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya. Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia, upaya-upaya dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur’an, sunnah, mukjizat dan sebagainya.
Dekonstruksi makna Islam, dan mereduksinya hanya dengan makna “submission”, berdampak pada tidak boleh adanya klaim kebenaran (truth claim) pada Islam.Kata mereka, Islam bukan satu-satunya agama yang benar. Ada banyak agama yang benar. Atau “semua agama yang benar”         bisa disebut “Islam”. Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.
Tidaklah mengherankan, jika ide dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap merasa benar sendiri. Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep dan lembaga dakwah?

Pola pemikiran Ulil Abshor mengenai islam politik- dan politik islam.[4]
1.      Politik dan siasah (tiga tesis tentang islam dan politik)
Uraian mengenai konsep tentang siasah, ra’i, dan ra’iyyah sebagai kenyataan linguistis, dengan sendirinya, membentuk cara pandang yang unik dari masyarakat islam terhadap “politik”. Jika yang dikatakan tersebut bahwa suatu kata bukan saja mewakili kenyataan linguistis, tetapi juga pandangan dunia, maka hal itu sama sekali tidak mengabaikan faktor-faktor sejarah yang sangat mempengaruhi formasi diskursif atau pembentukan wacana tentang “siasah”
Hal yang amat menonjol dari pembentukan wacana tentang “siasah” itu adalah tersingkirnya berbagai agenda pokok dari struktur kesadaran umat.”penyingkiran” semacam ini membuat umat“lupa” akan stuktur-stuktur ketidakadilan dalam masyarakat, serta menganggap hal tersebut sebagai bukan dari concern profetis agama.Pembentukan wacana struktur tentang “siasah” telah menciptakan “kawasan yang terlupakan” dalam struktur kesadaraan umat.
2.      KISDI dan Konstituen Baru Islam
Fenomena KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam), kian menarik banyak kalangan. Perjuangannya untuk membela kepentingan Umat Islam, baik didalam maupun diluar negeri, telah menempatkan kelompok ini dalam posisi yang “khusus” ditengah ormas-ormas islam lain di negeri ini. Usahanya yang tak kenal lelah untuk “menghardik” siapa saja yang mencoba untuk bermain-main dengan “konstituen islam” di negeri ini. Kata “menghardik” disini dalam pengertiannya bukanlah “menyindir” atau pejorative, tetapi hanya sekedar menggambarkan “ghirah” atau concern yang begitu kuat untuk membela kepentingan umat islam.
Konstituen baru ini lahir dari kebutuhan masyarakat kota yang terdidik akan “ruang ekspresi” bagi kebutuhan spiritual mereka yang tak tertampung dalam ormas-ormas lama. Juga kebutuhan akan penegasan identitas ditengah lanskap masyarakat urban yang anonim. Menurut Ulil Abshor, KISDI adalah salah satu yang dengan cerdik menangkap “sosiologi masyarakat urban” semacam ini, lalu merumuskannya menjadi suatu agenda gerakan.[5]
Basis dukungan untuk komite ini, sudah terbina sejak tahun 80-an yang mana ketika masyarakat ramai mempercakapkan soal kelompok-kelompok “usrah” atau “tarbiyah” yang merebak dan tersebar di pelbagai kampus “sekular”. Fenomena islamisasi yang berkembang itu pun akhirnya melebar ke kalangan kelas menengah, dan mendorong lahirnya kebangkitan simbol-simbol islam.
Dalam refleksi akhir tahun 1997, KISDI mengusulkan suatu kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy) untuk mengatasi kesenjangan dalam distribusi kekayaaan antara golongan pri dan nonpri. Kenyataan- kenyataan ini menunjukan bahwa konstituen baru islam yang diwakili oleh KISDI sudah mulai memasuki arena pergulatan real politics di Indonesia. Dengan kata lain, kebangkitan Islam di Indonesia bukan lagi merupakan peristiwa cultural, yakni ekspresi kelompok baru islam untuk mencari identitasnya, tetapi sudah menuju dan menjadi peristiwa politik.
3.      Massa santri dalam pemilu
Ada dua hal yang bisa digunakan dalam menyesuaikan kepartaian massa santri itu. Pertama,“ orientasi teologis” yang membentuk cara pandang serta perilaku mereka dalam melihat keberadaan lembaga partai. Kedua, faktor pengaruh kyai yang terus terang masih memainkan peranan yang cukup besar dilingkumgan NU. Menjelang pemilu pertama pada tahun 1977, seorang kyai karismatik NU dari Jombang, Kyai Bisyri Syamsuri mengeluarkan fatwa bahwa mencoblos PPP adalah wajib hukumnya bagi umat islam di Indonesia. Fatwa itu jelas amat penting artinya dalam membentuk “orientasi teologis” massa santri dalam melihat realitas kepartaian. Dengan melihat fatwa tersebut, kita bisa membaca bagaimana makna partai bagi massa santri.
Berbeda dengan golongan-golongan lain diluar mereka, “partai” bagi massa dimengerti sebagai bagian dari “lembaga keagamaan” yang berfungsi sebagai katalisator bagi aspirasi umat disektor politik. Oleh karena itu partai dianggap sebagai lembaga yang sakral, maka memilih sebuah partai merupakan tindakan yang tidak main-main.

4.      Amanat dan Khianat
Menjelang pemilu 1997 banyak pengamat menyaksikan berbagai fenomena baru, salah satu yang paling mencolok adalah “didepaknya” Megawati dari posisi yang sah sebagai ketua umum PDI. Menghadapi pemilu 1997, para pendukung dan simpatisan Mega terpecah menjadi dua: sebagian bersikukuh dengan Mega dan menolak untuk ikut pemilu, sebagian lainnya mencoba “realistis” dan menitipkan suaranya ke PPP. Para penitip suara ini beranggapan, bahwa hanya partai berlambang bintanglah yang bisa diharapkan membawa “aspirasi perubahan” yang selama ini mengendap didasar hati mereka. “Amanat” mempunyai akar yang sama dengan “Iman” dan “Aman”.
Jika keimanan tidak dapat menimbulkan sikap dapat dipercaya seperti itu, maka Iman itu adalah “palsu”. Oleh karena itu, kerit`eria orang beriman di mata Rasul itu ada 3, dan salah satunya adalah jika diserahi kepercayaan, mandat, delegasi, dia menjalankannya dengan baik.[6] Lalu apabila mandat itu “dikhianati”, maka dia berubah menjadi orang yang “munafik”.
Adapun menurut Dr. H. Muhammad Amien Rais aliran liberal mulai berkembang pada tahun 1920-an, karena penulis, pemikir dan tokoh-tokoh lain yang dipengaruhi oleh budaya barat muncul mendukung tujuan-tujuan liberal.[7] Walaupun terjadi perkembangan-perkembangan seperti ini, tetapi pada tahun 1928 sebuah kelompok oposisi islam tampil dipanggung sejarah Mesir modern: Ikhwan al-Muslimin (sebut saja Ikhwan) dibawah pimpinan Hasan al-Banna.
Selama masa inilah Ikhwan memainkan peran yang paling aktif dalam kehidupan politiknya di Mesir. Pada tahun 1941, gerakan ini membangun para militer rahasia bawah tanah yang berpusat satu komando serta jaringan bawah tanah yang sangat rapi.

















DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshor. 1999.Membakar Rumah Tuhan (Pergulatan Agama Privat dan Publik. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
David, Sagiv. 1997. Islam Otentisitas Liberalisme . LKiS. Yogyakarta.
Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Gema Insani. Jakarta.



[2] Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan, PT Remaja Karya Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm.257
[3] Adnin armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm 118-119.
[4] Abdalla Ulil Abshor, Membakar Rumah Tuhan (Pergulatan Agama Privat dan Publik),Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1999. Hlm 3
[5] Ibid,., Hlm 15-17
[6] Ibid,., Hlm 29-32
[7] Sagiv David,Islam Otentisitas Liberalisme (LKiS Yogyakarta,1997),.Hlm 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar