SEJARAH PENGGERAK MUSLIM KONTEMPORER
“PEMIKIRAN ULIL ABSHAR ABDALLA”
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Sejarah Penggeraak Muslim Kontemporer
Dosen Pengampu: Anwar Sanusi
Disusun
oleh :
v Nur Faozah
v Dian Yuliani
v Emi Rahmawati
Semester
IV/SPI B
FAKULTAS
USHULUDDIN ADAB DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
CIREBON
2015
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ulil
Abshar Abdalla
Ulil Abshar Abdalla adalah seorang
tokoh Islam Liberal Indonesia yang berafiliasi dengan Jaringan Islam Liberal.
Perseteruannya dengan organisasi Front Pembela Islam dan pengakuannya sebagai
seorang muslim liberal banyak mengundang kontroversi. Ulil Abshar lahir di
Pati, Jawa Tengah pada tanggal 11 Januari 1967. Ayahnya Abdullah Rifa’I, adalah
pengelola pesantren Mansajul Ulum di Pati. Ia dibesarkan dilingkungan keluarga
Nahdatul Ulama.
B.
Pendidikan Ulil
Abshar Abdalla
Ulil menyelesaikan pendidikan
menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah Yang
diasuh oleh Kiai Haji M. Ahmad Sahal Mahfudz. Dia mendapatkan gelar sarjananya
di Fakultas Syari’ah LIPIA ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta,
dan mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan memperoleh
gelar Doktoral di Boston University, massachussetts, AS. Ia dikenal karena
aktivitasnya sebagai coordinator Jaringan Islam Liberal. Dalam aktivitas ini,
Ulil menuai banyak simpati segaligus kritik. Atas kiprahnya
dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris
pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur. Selain itu Ulil pernah menjadi ketua
Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) Nahdatul Ulama,
Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi
(ISAI), Jakarta, serta direktur program Indonesian Conference on Religion and
Peace (ICRP). Sebagai politikus, ia menjabat sebagai Ketua Divisi Pusat
Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengurus Pusat dari Partai Demokrat selama
masa jabatan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Kehadiran gagasan Liberalisasi Islam
yang kemudian dikenal dengan sebutan “Islam Liberal” oleh Ulil telah
menimbulkan kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan gagasan
yang ia usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syari’at
Islam.
Dalam artikelnya “Menjadi Muslim
dengan Perspektif Liberal” telah menuai banyak kontroversi. Langkahnya yang
mendukung pembubaran FPI menuai kecaman dari berbagai umat Islam. Bersama
koleganya, Ulil turut mengorganisir Gerakan Indonesia tanpa FPI. Namun ada yang
menyebutkan pula bahwa Ulil Abshar di Drop Out dari Universitas LIPIA
dan tak lulus dari sana. Kemudian disebutkan juga hal yang sama terjadi ketika
ia menempuh pendidikan Doktoral di Harvard. Namun pendapat tersebut masih
“kata selintingan” sebagian orang. Berbeda
dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, K.H Sahal Mahfudz justru
terkenal keras menentang Ahmadiyah. “Romo-Kiyai”
begitu para santri memanggil beliau termasuk Ulil meminta agar Ahmadiyah keluar
dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU dan
memakai jurus “atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
K.H Sahal dengan tegas menyatakan
dengas tegas bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang bebeda. K.H Sahal Mahfuz pun
telah berkali kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk
membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama
Indonesia.[1]
Dalam sebuah buku dikatakan bahwa Ulil menulis diberbagai media massa nasional
terkemuka, seperti Tempo, D&R, Forum Keadilan, Jurnal Ulumul Qur’an,
Jurnal Tashwirul Afkar, Kompas, Media Indonesia, Republika, dan Jawa Pos.
beberapa tulisannya dimuat di dalam dan di luar negeri. Dan sedang menyiapkan
tentang “ Media Massa dan Prasangka Agama”.[2]
C. PEMIKIRAN
ULIL ABSHAR ABDALLA
Pemikiran seorang
Ulil Abshar Abdalla ini memang terbilang nyleneh
dan jauh dari umum. Kita bisa lihat dari kata-kata beliau yang memang bernada
liberal namun masih bernafaskan islam. Sontak para cendikiawan yang tidak
sependapat dengan beliau menghujamkan berbagai pertanyaan yang memang dari
pihak beliau ditanggapi dengan serius. Ada beberapa dialog yang akan kami ambil
inti sarinya dari sebuah buku yang memuat perbincangan antara aktivis jaringan
islam liberal dengan orang yang sangat kontra dengan JIL.
Seperti salah satu pernyataan berikut ini:
“ saya semakin
optimis bahwa Islam Liberal ini akan menjadi ‘madzhab’ ke depan yang segera
akan menggantikan Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambaly, Ja’fary, dan yang
lain. Anggota kita memang terbatas, tetapi melihat pikiran-pikiran teman-teman
dalam komunitas ini, saya menjadi yakin bahwa opsi Islam Liberal (lepas dari
kontroversi sekitar istilah ini) adalah opsi yang paling masuk akal”
Dengan mengikuti
cara Kurzman, tetapi dengan bentuk yang lain ia membagi sekurang-kurangnya ada
tiga teologi islam untuk saat ini.
Ø Pertama,
Islam gembar-gembor.
Ø Kedua,
adalah yang disebut sebagai silent syari’ah oleh Kurzman, tetapi ia memaknainya
secara berbeda.
Oleh karena itu, agak
susah untuk mendefinisikan content
Islam sebagaimana diinginkan oleh kelompok ini. Teks keagamaan dalam pandangan
mereka dipandang sebagai sesuatu yang bersifat prismatik, artinya dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan,
dan penafsiran. Islam dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang belum, atau
malah tak pernah selesai. Kelompok ini tidak memandang Barat sebagai musuh,
melainkan teman dialog yang justru akan mengembangkan Islam itu sendiri.
Wahyu dipandang sebagai sesuatu yang tak pernah selesai,
tetapi progresif, bergerak terus. Rosulullah sebagai pribadi memang telah
wafat, tetapi Nabi sebagai fungsi tetap berjalan dan berlaku sepanjang zaman. Wahyu
progresif adalah wahyu yang tidak dipandang berhenti hanya karena wafatnya
Rasulullah. Meski Rasulullah telah tiada, “pewahyuan” tetap berjalan terus,
yaitu melalui ijtihad manusia melalui
rasio dan otak.
Pada tahun 2001 Ia pernah menegaskan
bahwa masa depan hanya pada Islam liberal. Membicarakan masa depan berarti
mengukur manfaat wacana bagi peningkatan taraf hidup semua unsur masyarakat.
Dekonstruksi makna Islam yang dilakukan oleh Ulil dan kawan-kawan sebenarnya
merupakan dekonstruksi Islam secara keseluruhan. Jika makna Islam
didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna; Kafir, murtad,
munafik, al-haq, dakwah, jihad, amar makruf nahi munkar, dan sebagainya.
Jika dicermati, dalam berbagai penerbitan di Indonesia, upaya-upaya
dekonstruksi istilah-istilah itu bisa dilihat dengan jelas. Bahkan, berlanjut
ke konsep-konsep dasar Islam, seperti; wahyu, Al-Qur’an, sunnah, mukjizat
dan sebagainya.
Dekonstruksi makna Islam, dan
mereduksinya hanya dengan makna “submission”, berdampak pada tidak boleh adanya
klaim kebenaran (truth claim) pada Islam.Kata mereka, Islam bukan satu-satunya
agama yang benar. Ada
banyak agama yang benar. Atau
“semua agama yang benar” bisa
disebut “Islam”. Kebenaran tidak satu, tetapi banyak. Sehingga, orang Islam tidak boleh
mengklaim sebagai pemilik agama satu-satunya yang benar.
Tidaklah mengherankan, jika ide
dekonstruksi dan reduksi makna Islam, biasanya berjalan beriringan dengan
propaganda agar masing-masing pemeluk agama menghilangkan pikiran dan sikap
merasa benar sendiri. Jika orang muslim tidak boleh meyakini bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar, dan agama lain salah, lalu untuk apa ada konsep
dan lembaga dakwah?
1.
Politik dan siasah (tiga tesis
tentang islam dan politik)
Uraian
mengenai konsep tentang siasah, ra’i, dan
ra’iyyah sebagai kenyataan
linguistis, dengan sendirinya, membentuk cara pandang yang unik dari masyarakat
islam terhadap “politik”. Jika yang dikatakan tersebut bahwa suatu kata bukan
saja mewakili kenyataan linguistis, tetapi juga pandangan dunia, maka hal itu
sama sekali tidak mengabaikan faktor-faktor sejarah yang sangat mempengaruhi
formasi diskursif atau pembentukan wacana tentang “siasah”
Hal
yang amat menonjol dari pembentukan wacana tentang “siasah” itu adalah
tersingkirnya berbagai agenda pokok dari struktur kesadaran umat.”penyingkiran”
semacam ini membuat umat“lupa” akan stuktur-stuktur ketidakadilan dalam
masyarakat, serta menganggap hal tersebut sebagai bukan dari concern profetis agama.Pembentukan
wacana struktur tentang “siasah”
telah menciptakan “kawasan yang terlupakan” dalam struktur kesadaraan umat.
2.
KISDI dan Konstituen Baru Islam
Fenomena
KISDI (Komite Indonesia Untuk Solidaritas
Dunia Islam), kian menarik banyak kalangan. Perjuangannya untuk membela
kepentingan Umat Islam, baik didalam maupun diluar negeri, telah menempatkan
kelompok ini dalam posisi yang “khusus” ditengah
ormas-ormas islam lain di negeri ini. Usahanya yang tak kenal lelah untuk
“menghardik” siapa saja yang mencoba untuk bermain-main dengan “konstituen
islam” di negeri ini. Kata “menghardik” disini dalam pengertiannya bukanlah
“menyindir” atau pejorative, tetapi hanya sekedar menggambarkan “ghirah” atau concern yang begitu kuat untuk membela
kepentingan umat islam.
Konstituen
baru ini lahir dari kebutuhan masyarakat kota yang terdidik akan “ruang
ekspresi” bagi kebutuhan spiritual mereka yang tak tertampung dalam ormas-ormas
lama. Juga kebutuhan akan penegasan identitas ditengah lanskap masyarakat urban
yang anonim. Menurut Ulil Abshor, KISDI adalah salah satu yang dengan cerdik
menangkap “sosiologi masyarakat urban” semacam ini, lalu merumuskannya menjadi
suatu agenda gerakan.[5]
Basis
dukungan untuk komite ini, sudah terbina sejak tahun 80-an yang mana ketika
masyarakat ramai mempercakapkan soal kelompok-kelompok “usrah” atau “tarbiyah”
yang merebak dan tersebar di pelbagai kampus “sekular”. Fenomena islamisasi
yang berkembang itu pun akhirnya melebar ke kalangan kelas menengah, dan
mendorong lahirnya kebangkitan simbol-simbol islam.
Dalam
refleksi akhir tahun 1997, KISDI mengusulkan suatu kebijakan ekonomi baru (New Economic Policy) untuk mengatasi
kesenjangan dalam distribusi kekayaaan antara golongan pri dan nonpri.
Kenyataan- kenyataan ini menunjukan bahwa konstituen baru islam yang diwakili
oleh KISDI sudah mulai memasuki arena pergulatan real politics di Indonesia. Dengan kata lain, kebangkitan Islam di
Indonesia bukan lagi merupakan peristiwa
cultural, yakni ekspresi kelompok baru islam untuk mencari identitasnya,
tetapi sudah menuju dan menjadi peristiwa politik.
3.
Massa santri dalam pemilu
Ada
dua hal yang bisa digunakan dalam menyesuaikan kepartaian massa santri itu. Pertama,“ orientasi teologis” yang
membentuk cara pandang serta perilaku mereka dalam melihat keberadaan lembaga
partai. Kedua, faktor pengaruh kyai
yang terus terang masih memainkan peranan yang cukup besar dilingkumgan NU.
Menjelang pemilu pertama pada tahun 1977, seorang kyai karismatik NU dari
Jombang, Kyai Bisyri Syamsuri mengeluarkan fatwa bahwa mencoblos PPP adalah
wajib hukumnya bagi umat islam di Indonesia. Fatwa itu jelas amat penting
artinya dalam membentuk “orientasi teologis” massa santri dalam melihat
realitas kepartaian. Dengan melihat fatwa tersebut, kita bisa membaca bagaimana
makna partai bagi massa santri.
Berbeda
dengan golongan-golongan lain diluar mereka, “partai” bagi massa dimengerti
sebagai bagian dari “lembaga keagamaan” yang berfungsi sebagai katalisator bagi
aspirasi umat disektor politik. Oleh karena itu partai dianggap sebagai lembaga
yang sakral, maka memilih sebuah partai merupakan tindakan yang tidak
main-main.
4.
Amanat dan Khianat
Menjelang
pemilu 1997 banyak pengamat menyaksikan berbagai fenomena baru, salah satu yang
paling mencolok adalah “didepaknya” Megawati dari posisi yang sah sebagai ketua
umum PDI. Menghadapi pemilu 1997, para pendukung dan simpatisan Mega terpecah
menjadi dua: sebagian bersikukuh dengan Mega dan menolak untuk ikut pemilu,
sebagian lainnya mencoba “realistis” dan menitipkan suaranya ke PPP. Para penitip suara ini beranggapan, bahwa
hanya partai berlambang bintanglah yang bisa diharapkan membawa “aspirasi
perubahan” yang selama ini mengendap didasar hati mereka. “Amanat” mempunyai
akar yang sama dengan “Iman” dan “Aman”.
Jika
keimanan tidak dapat menimbulkan sikap dapat dipercaya seperti itu, maka Iman
itu adalah “palsu”. Oleh
karena itu, kerit`eria orang beriman di mata Rasul itu ada 3, dan salah
satunya adalah jika diserahi kepercayaan, mandat, delegasi, dia menjalankannya
dengan baik.[6] Lalu apabila mandat itu
“dikhianati”, maka dia berubah menjadi orang yang “munafik”.
Adapun
menurut Dr. H. Muhammad Amien Rais aliran liberal mulai berkembang pada tahun
1920-an, karena penulis, pemikir dan tokoh-tokoh lain yang dipengaruhi oleh
budaya barat muncul mendukung tujuan-tujuan liberal.[7]
Walaupun terjadi perkembangan-perkembangan seperti ini, tetapi pada tahun 1928
sebuah kelompok oposisi islam tampil dipanggung sejarah Mesir modern: Ikhwan
al-Muslimin (sebut saja Ikhwan) dibawah pimpinan Hasan al-Banna.
Selama
masa inilah Ikhwan memainkan peran yang paling aktif dalam kehidupan politiknya
di Mesir. Pada tahun 1941, gerakan ini
membangun para militer rahasia bawah tanah yang berpusat satu komando serta
jaringan bawah tanah yang sangat rapi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshor. 1999.Membakar
Rumah Tuhan (Pergulatan Agama Privat dan Publik. PT Remaja
Rosdakarya. Bandung.
David, Sagiv. 1997. Islam
Otentisitas Liberalisme . LKiS. Yogyakarta.
Armas, Adnin. 2003. Pengaruh
Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Gema Insani. Jakarta.
[2]
Ulil Abshar Abdalla, Membakar Rumah Tuhan, PT Remaja Karya Rosdakarya, Bandung,
1999, hlm.257
[3] Adnin armas, Pengaruh Kristen-Orientalis
Terhadap Islam Liberal, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm 118-119.
[4]
Abdalla Ulil Abshor, Membakar Rumah Tuhan
(Pergulatan Agama Privat dan Publik),Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Hlm 3
[5]
Ibid,., Hlm 15-17
[6]
Ibid,., Hlm 29-32
[7]
Sagiv David,Islam Otentisitas Liberalisme
(LKiS Yogyakarta,1997),.Hlm 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar