Selasa, 07 November 2017

KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN



BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa banyak sekali perbedaan pandangan tentang Khalifah Ustman. Terutama saat di angkatnya beliau sebagai Khalifah dan saat sistem pemerintahan yang dibuat beliau beserta jajarannya.Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara terbagi secara berimbang,Abdullah bin Umar yang berhak mentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah.
Banyak faktor yang membuat kinerja beliau menjadi timbul pro dan kontra, bagaimana tidak? Di balik keluguan beliua, banyak anggota keluarganya yang ingin menduduki kursi pemerintahan, lama kelamaan masyarakat mulai gerah dengan kejadian tersebut.Dalam  hal ini banyak sekali prasangka buruk yang ditujukan kepada khalifah, karena banyak versi yang beredar bahwa khalifah ustman bersikap nepotisme. Hal ini memang sudah tidak asing lagi bagi pembaca yang mungkin hanya membaca sekilas tentang beliau. Pandangan ini tak selamanya benar, karena sumber yang beredar pada saat itu adalah karena politik.
2.      Rumusan Masalah
A.    Bagaimana sistem pengangkatan khalifah Ustman?
B.     Bagaimana perluasan Islam di masa khalifah Ustman?
C.     Bagaimana sistem pemerintah pada masa khalifah Ustman?
3.      Tujuan masalah
A.    Untuk mengetahui sistem pengangkatan khalifah Ustman
B.     Untuk mengetahui perluasan Islam di masa khalifah Ustman
C.     Untuk mengetahui sistem pemerintahan pada masa Ustman








BAB II
Pembahasan
Islam pada Masa Utsman bin Affan I
Sebelum meninggal, Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, Ali dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian, Umar berpesan agar penggantinya tidak mengangkat kerabat sebagai pejabat (Munawwir Syadzali, 1993: 30). Di samping itu, Umar telah membentuk dewan formatur yang bertugas memilih penggantinya kelak. Dewan formatur yang dibentuk Umar berjumlah 6 orang. Mereka adalah Ali, Ustman , Sa’ad bin Abi Waqqash, Abd Ar-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah. Di samping itu, Abdullah bin Umar dijadikan anggota, tetapi tidak memiliki hak suara.
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara terbagi secara berimbang (3:3), Abdullah bin Umar yang berhak mentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah. Kalau masih ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah dibunuh (Hasan Ibrahim Hasan, 1954: 254-5).
Anggota yang khawatir dengan tata tertib pemilihan tersebut adalah Ali. Ia khawatir Abd Ar-Rahman yang mempunyai kedudukan strategis ketika pemilihan tidak bisa berlaku adil, karena antara Umar dan beliau terdapat hubungan kekerabatan. Akhirnya, Ali meminta Abd Ar-Rahman berjanji untuk berlaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan umat. Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali pun menyetujuinya .
Setelah Umar wafat, Abd Ar-Rahman meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk merumuskan pengangkatan khalifah. Hasilnya muncul dua kandidat khalifah, yaitu Ustman dan Ali. Ketika diadakan pemilihan suara di luar sidang formatur, terjadi silang pemilihan, Ali dipilih oleh Ustman dan Ustman dipilih oleh Ali. Di samping itu, Zubair dan Sa’ad bin Abi Waqqash mendukung Ustman. Sementara Thalhah dan Zubair tidak ditanyai pendapat dan dukungannya karena keduanya ketika itu sedang berada di luar Madinah sehingga tidak sempat dihubungi. Selanjutnya Abd Ar-Rahman bermusyawarah dengan masyarakat dan sejumlah pembesar diluar anggota formatur. Ternyata, suara di masyarakat telah terpecah menjadi dua, yaitu kubu Bani Hasyim yang mendukung Ali dan kubu Bani Umayyah mendukung Ustman.
Kemudian, Abd Ar-Rahman memanggil Ali dan menanyakan kepadanya, seandainya dia dipilih menjadi khalifah, sanggupkah dia melaksanakan tugasnya berdasarkan Al-Qur’an, Assunah, dan kebijaksanaan dua khalifah sebelumnya? Ali menjawab bahwa dirinya berharap dapat berbuat sejauh pengetahuan dan kemampuannya. Abd Ar-Rahman berganti mengundang Ustman dan mengajukan pertanyaan yang sama kepadanya. Dengan tegas Ustman menjawab, “Ya ! Saya sanggup.” Berdasarkan jawaban itu, Abd Ar-Rahman menyatakan, “ Ustman sebagai khalifah ketiga, dan segeralah dilaksanakan bai’at.“ Waktu itu, usia Ustman tujuh puluh tahun. Dalam hubungan ini, patut dikemukakan bahwa Ali sangat kecewa atas cara yang dipakai oleh Abd Ar-Rahman tersebut dan menuduhnya bahwa sejak semula ia sudah merencanakannya bersama Ustman. Sebab kalau Ustman yang menjadi khalifah, berarti kelompok Abd Ar-Rahman bin Auf yang berkuasa.[1]
Sumber-sumber mengenai sikap ali terhadap Usman ini masih saling berbeda, yang sukar sekali untuk dapat mengukuhkan salah satunya. Ibn Sa’d dengan sanadnya menyebutkan, bahwa orang pertama yang membaiatUsman adalah Abdur-Rahman bin Auf, kemudian Ali bin Abi Thalib. Dengan sanad lain ia menuturkan, bahwa ali adalah orang pertama yang membaiat Usman, kemudian berturut-tutut yang lain juga membaiatnya. Ibn Kastir menuturkan bahwa Abd Rahman di mimbar duduk di tempat duduk Nabi, dan sesudah di baiat Ustman didudukkan di tingkat kedua. “orang datang beramai-ramai membaiatnya. Yang pertama kali membaiat adalah Ali, malah ada yang mengatakan justru dia yang terakhir.”
Masa pemerintahan Ustman bin Affan termasuk yang paling lama apabila dibandingkan dengan khalifah lainnya, yaitu selama 12 tahun; 24-36 H./644-656 M. Umar 10 tahun 13-23 H/ 634-644 M, Abu Bakar 2 tahun 11-13 H/632-634 M, dan Ali 5 tahun 36-41 H./656-661 M. Awal pemerintahan Ustman kira-kira 6 tahun masa pemerintahnnya penuh dengan berbagai prestasi.

Perluasan Islam di Masa Ustman bin Affan
Perluasan Islam di masa Usman dapat disimpulkan pada dua bidang :
1.      Menumpas pendurhakaan dan pemberontakan yang terjadi di beberapa negeri yang telah masuk ke bawah kekuasaan Islam di zaman Umar.
2.      Melanjutkan perluasan Islam ke daerah-daerah yang telah terhenti saat perluasan Islam di masa Umar.
Dibawah ini akan dijelaskan secara ringkas perluasan Islam dalam kedua bidang tersebut:
1.                  Menumpas pendurhakaan dan pemberontakan
Setelah khalifah Umar wafat, ada daerah-daerah yang mendurhakai pemerintahan Islam. Pendurhakaan itu ditimbulkan oleh pendukung-pendukung  pemerintahan yang lama, yang ingin mengembalikan kekuasaannya. Terutama daerah Khurasan dan Iskandariah.
Pemberontakan di Khurasan dicetuskan oleh pendukung pemerintahan yang lama. Adapun kota Iskandariah telah diserang kembali oleh bangsa Romawi. Dikirimnya tentara yang di bawah pimpinan seorang panglima Armenia bernama Manuel. Pemberontakan ini dapat ditumpas oleh Usman dengan mengirimkan tentara yang banyak jumlahnya dengan perlengkapan yang cukup. Akhirnya mereka dapat mengembalikan keamanan dalam daerah tersebut.
2.      Perluasan Islam

Perluasan Islam telah dicapai pada masa Umar. Perluasan ini di masa Ustman telah bertambah dengan perluasan ke laut. Kum muslim telah mempunyai angkatan laut. Di masa Usman, negeri-negeri : Barqah, Tripoli Barat dan bagian selatan negeri Nubah, Armenia, Thabaristan, sungai Jihun (Amu Daria).[2]
Perluasan Islam telah mencapai Asia dan Afrika , seperti daerah Herat, Kabul ,Ghani , dan Asia tengah, juga Armenia , Tunisia , Cyiprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari persia, dan berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan orang persia. Dalam bidang sosial budaya, Ustman bin Affan telah membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Membangun jalan, jembatan, masjid, rumah penginapan para tamu dalam berbagai bentuk, serta memperluas Masjid Nabi di Madinah.
Peperangan yang terjadi pada masa ini adalah Perang Zatis Sawari “Perang Tiang Kapal” , suatu peperangan ditengah lautan yang belum pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW., Khalifah Abu Bakar, dan Umar. Di sebut Zatis Sawari, karena pada perang tersebut dilakukan di Laut Tengah dekat kota Iskandariyah antara tentara tentara Romawi dibawah pimpinan Kaisar Constantine dengan laskar kaum Muslimin dibawah pimpinan Abdullah bin Abi Sarah, Umat Islam mengerahkan kurang lebih 200 kapal.
Setelah melewati masa yang penuh dengan prestasi, pada paruh terakhir,khalifah menghadapi pemberontakan dan pembangkangan di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pemberontakan lebih terpusat pada kebijakan-kebijakan khalifah yang nepotis, harta kekayaan umum yang hanya berputar pada kalangan keluarga dan sikapnya yang tidak tegas terhadap sahabat utama. Adapun diluar negeri, pemberontakan lebih banyak berasal dari negeri-negeri yang ditaklukkan, seperti Romawi dan Persia yang menambah dendam dan sakit hati karena sebagian wilayahnya telah diambil oleh kaum muslim. Juga fitnah yang di sebarkan oleh orang yahudi dari suku Qainuka dan Nadhir serta Abdullah bin Saba. Pemberontakan dan pembangkangan ini menyebabkan tewasnya khalifah pada tahun 35 H.

Sistem Pemerintahan
Visi Msi khalifah Ustman bin Affan dalam menjalankan kekhalifahannya, dapat dilihat dari isi pidato setelah Ustman bin Affan dilantik atau dibai’at menjadi khalifah ketiga negara Madinah, ia menyampaikan pidato penerimaan jabatan sebagai berikut :
“Sesungguhnya kamu sekalian berada dinegeri yang tidak kekal dan dan dalam pemerintahan yang selalu berganti. Maka bersegeralah kamu berbuat baik menurut kemampuan kamu untuk menyongsong waktu akhir kamu. Maka sampailah waktunya untuk saya berkhidmat kepada kamu setiap saat. Ingatlah sesungguhnya dunia ini diliputi kepalsuan maka janganlah kamu dipermainkan kehidupan dunia dan janganlah kepalsuan mempermainkan kamu terhadap Allah . Beriktibarlah kamu dengan orang yang telah lalu, kemudian bersungguh-sungguhlah dan jangan melupakannya, karena sesungguhnya masa itu tidak  akan melupakan kamu . Dimanakah didunia terdapat pemerintahan yang bertahan lama ? Jauhkanlah dunia sebagai mana Allah telah memerintahkannya, tuntutlah Akhirat sesungguhnya Allah telah memberikannya sebagai tempat yang lebih baik bagi kamu. Allah berfirman, ‘Dan berilah perumpamaan kepada mereka(manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Kahfi/18: 45).
Bagian lain dari isi pidato pelantikannya sebagaimana dikutip oleh Al-Maududi dan Ath- Thabari juga dikutip oleh Suyuthi pulungan,
“Sesungguhnya tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerimanya dan sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ (pengikut sunah Rasul) dan bukan mubtadi’ (orang yang berbuat bid’ah). Ketahuilah bahwa kalian berhak menuntut aku mengenai tiga hal, Selain kitab Allah dan sunah Nabi, yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang sebelumku dalam hal –hal yang kamu sekalian telah dilakukan oarang-orang sebelumku dalam hal-hal yang kamu sekalian telah bersepakat dan telah kamu jadikan kebiasaan dan mencegah diriku bertindak atas kamu, kecuali dalam hal-hal yang kamu sendiri menyebabkannya”.
Pidato diatas menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik. Dalam pidato itu, Ustman mengingatkan beberapa hal penting :
1)      Agar umat islam selalu berbuat baik sesuai kemampuan sebagai bekal menghadapi hari kematian dan akhirat sebagai tempat yang lebih baik yang disediakan oleh Allah;
2)      Agar umat Islam jangan terperdaya kemewahan dunia yang penuh kepalsuan sehingga membuat mereka lupa kepada Allah;
3)      Agar umat Islam mau mengambil iktibar pelajaran dimasa lalu, mengambil yang baik dan menjauhkan yang buruk;
4)      Sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah Al-Qur’an dan sunnah Rasul;
5)      Ia akan meneruskan apa yang telah dilakukan pendahulunya, juga akan membuat hal-hal baru yang membawapada kebajikan ; dan
6)      Umat Islam boleh mengkritiknya bila ia menyimpang dari ketentuan hukum.

Pelaksanaan tugas eksekutif  pusat di bantu oleh sekretaris negara dan dijabat oleh Marwan bin Hakam, anak paman khalifah. Jabatan ini sangat strategis, karena mempunyai wewenang untuk memengaruhi keputusan khalifah. Karena dalam praktiknya, marwan tidak hanya sebagai sekretaris negara, tetapi juga sebagai penasihat pribadi khalifah. Selain itu, Ustman juga dibantu oleh pejabat pajak, pejabat kepolisian, pejabat keuangan (Baitul Mal) seperti pada masa pemerintahan Umar.
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, khalifah Ustman memercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau provinsi. Pada masanya, wilayah kekuasaan negara Madinah dibagi menjadi sepuluh provinsi:
1.      Nafi’ bin Al-Haris Al-Khuza’i, amir wilayah mekah;
2.      Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi, amir wilayah Thaif;
3.      Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd Manaf, amir wilayah Shan’a;
4.      Abdullah bih Abi Rabiah, Amir wilayah Al- Janad;
5.      Ustman bin Abi Al-Ash Ats- Tsaqafi, amair wilayah Bahrain;
6.      Al Mughiroh bin Syu’bah Ats-Tsaqafi, amir  wilayah Kufah;
7.      Abu Musa Abdullah bin Qais Al- Asy’ari, amir wilayah Bashrah;
8.      Muawiyyah bin Abi Sufyan, amir wilayah Damaskus;
9.      Umar bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh; dan
10.  Amr bin AL-Ash As-Sahami, Amir wilayah mesir.

Setiap amir atau gubernur adalah wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggung jawab kepadanya. Seorang amir diangkat dan diberhentikan oleh khalifah. Kedudukan gubernur disamping kepala pemerintahan daerah, juga sebagai pemimpin agama, pemimpin ekspedisi militer, penetap undang-undang, dan pemutus perkara, yang dibantu oleh katib (sekretaris), pejabat pajak, pejabat keuangan, dan pejabat kepolisian.
Adapun kekuasaan legislatif dipegang oleh dewan penasihat atau ‘Majelis Syura’, tempat khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majelis ini memberikan saran dan nasihat kepada khalifah tentang berbagai masalah penting yang dihadapi negara. Akan tetapi, pengambil keputusan terakhir berada ditangan khalifah. Artinya berbagai peraturan dan kebijaksanaan, diluar ketentuan Al-Qur’an dan Sunah Rasul, dibicarakan didalam majelis itu dan diputuskan oleh khalifah atas persetujuan anggota majelis. Dengan demikian majelis syura diketuai oleh khalifah.
Jadi, kalau Majelis Syura ini disebut sebagai lembaga legislatif, ia tidak sama dengan lembaga legislatif yang dikenal sekarang yang memiliki ketua sendiri. Bagaimanpun, dengan adanya Majelis Syura telah ada pendelegasian kekuasaan dari khalifah untuk melahirkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan. Dari fungsi ini, ia dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif untuk zamannya.
Karya besar monumental Khalifah Ustman adalah membukukan mushaf Al-Qur’an. Pembukuan ini di dasarkan atas alasan dan pertimbangan untuk mengakhiri perbedaan bacaan dikalangan umat Islam yang diketahui pada saat ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Pembukuan ini dilaksanakan oleh suatu kepanitiaan yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.
Adapun kegiatan pembangunan di wilayah Islam yang luas itu, meliputi pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan, jalan, masjid, wisma tamu, pembangunan kota-kota baru yang kemudian tumbuh pesat. Semua jalan yang menuju ke Madinah dilengkapi dengan khalifah dan fasilitas bagi para pendatang. Masjid Nabi di Madinah diperluas. Tempat persediaan air dibangun di Madinah , di kota-kota padang pasir, dan di ladang-ladang peternakan unta dan kuda. Pembangunan berbagai sarana umum ini menunjukkan bahwa Ustman sebagai khalifah sangat memerhatikan kemaslahatan publik sebagai bentuk dari manifestasi kebudayaan sebuah masyarakat.[3]





















BAB III
Penutup
1.      Kesimpulan
Setelah Umar wafat, Abd Ar-Rahman meminta pendapat kepada anggota formatur secara terpisah untuk merumuskan pengangkatan khalifah. Hasilnya muncul dua kandidat khalifah, yaitu Ustman dan Ali. Khalifah Ustman dingkat sebagai khalifah pada umur 70 tahun. citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang corak politik.Perluasan Islam telah mencapai Asia dan Afrika, seperti daerah Herat, Kabul, Ghani, dan Asia tengah, juga Armenia, Tunisia, Cyiprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari persia, dan berhasil menumpas pemberontakan yang dilakukan orang persia.kekuasaan legislatif dipegang oleh dewan penasihat atau ‘Majelis Syura’, tempat khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka.
2.      Kritik dan Saran
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberi sumbangsi kepada kami dalam penyelesaian makalah ini. Dan tentunya penulis juga menyadari, bahwa  masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Hal ini Karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis senantiasa menanti kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna penyempurnaan makalah ini. Dan semoga para pembaca tidak mudah puas dengan materi yang kami bahas.












DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi, 2008, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Syalabi, Ahmad, 1994, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna.




[1]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm: 87-88
[2]Ahmad Syalabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, (Jakarta Pusat: Pustaka Alhusna, 1994), hlm: 270-271
[3]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm: 88-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar