Selasa, 07 November 2017

MAKALAH (KERAJAAN ISLAM ACEH)



TUGAS MAKALAH
“KERAJAAN ISLAM ACEH ”
Disusun untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Dedeh Nurhamidah, M.Ag
 







Disusun oleh :
Nur Faozah
Jurusan SPI B/ Semester 1


FAKULTAS ADADDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2013/2014

DAFTAR ISI

LEMBAR SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI                                                        
BAB I PENDAHULUAN
                     A.    Latar Belakang
                     B.     Rumusan Masalah                                              

BAB II PEMBAHASAN
                     A.    Awal mula berdirinya kerajaan Aceh
                     B.     Masa kejayaan kerajaan Aceh
                     C.     Masa kepemimpinan

BAB III PENUTUP
                      A.    Kesimpulan
                      B.     Kritik dan Saran
DAFTAR  PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sejarah Perlawanan melawan para Imperialis barat yang  merugikan bangsa Indonesia itu sendiri , sejak dahulu hingga sekarang . Dalam kerajaan Aceh sendiri mengalami masa yang cukup rumit.  Sejak Raja Iskandar Bangsawan terakhir yang berhak menduduki takhta Kerajaan Pasai-Samudra, dibawa oleh Cheng Ho ke Tiongkok, dan mati dibunuh orang di negeri itu, sebagaimana diketahui, negri Pasai telah mundur. Kemegahannya hanya tinggal karena sejarahnya , sebab itulah Kerajaan Islam tertua yang tetap dihormati. Bahkan Sultan Muhammad Syah Permaisura, Raja Hindu Melayu yang mula memeluk Islam dan menjadi sultan pertama Islam di Malaka baru merasa puas dirinya duduk diatas singgasana Kerajaan, sebagai seorang Raja Islam, setelah baginda diterima menjadi menantu oleh Raja Pasai.
Kemajuan Malaka tidaklah dapat ditahan oleh Pasai. Pelabuhan Pasai telah dangkal. Penyerangan –penyerangan dari Siam yang tidak dapat ditangkis, kemudian diiringi pula oleh penyerangan Majapahit, semuanya itu menybabkan Pasai menjadi muram. Selama Malaka naik sinarnya dilangit tanah Melayu dan Pulau Sumatera, Pasai terpaksa surut kebelakang. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana awal mula berdirinya Kerajaan Aceh?
2.      Bagaimana masa kejayaan Kerajaan Aceh?
3.      Jelaskan masa kepemimpinan Kerajaan Aceh?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui awal mula berdirinya kerajaan Aceh
2.      Mengetahui masa kejayaan kerajaan Aceh
3.      Mengetahui masa kepemiminan kerajaan Aceh





BAB II
PEMBAHASAN
KERAJAAN ISLAM ACEH
A.     Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh

Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)

B.      Masa Kejayaan Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil (http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)[1]
 





C. Masa Kepemimpinan Kerajaan Aceh
1.Raja Ibrohim (Sultan Ali L-Mogayat Syah tahun 1507-1522)
Seketika Malaka sedang naik, daerah-daerah Aceh yang luas itu termasuk Pasai, Samdera, Aru, Lamuri, Pidir dan daerah lain di sebelah utara atau selatan terdapatlah Raja-raja kecil dengan kekuasaan yang terbatas, belum ada yang dapat menyatukan semuanya. Kadang-kadang mereka membuat hubungan  dengan Malaka. Tetapi Malaka sendiri tidaklah dapat menguasai daerah seluas itu, sebab kekuasaan Malaka lebih banyak ditumpukan ke sebelah timur Pulau Perca, seumpama Siak, Rokan, Kampar dan lain-lain.
Setelah Sultan Manshur Syah Malaka berangkat , kekuatan Malaka menjadi “ tenang” tidak lagi. Dan setelah memerintah Sultan Mahmud syah, ternyata Malaka mulai mundur, dan dimasa Sultan Mahmud Syah-lah Portugis menyerang Malaka sehingga jatuh.
Seorang Raja di negeri Pidir, bernama Raja Ibrohim itulah seorang diantara raja-raja di daerah-daerah Aceh itu yang kemudiannya sanggup mempersatukan kembali seluruh Aceh, sebagaimana yang dahulu tercapai di zaman Pasai.
Setelah negeri-negeri dikelilingnya baginda taklukan. Bagindapun meresmikin dirinya menjadi sultan negeri Aceh dan rantau jajahan takluknya dengan sebutan Sultan Ali Al-Moghyat syah. Naik takhta ditahun 1507.
Baru empat tahun baginda memerintah telah kuatlah kedudukan baginda, tetapi pada waktu itu pula telah datang mengancam bahay yang baru (1511), yaitu dengan jatuhnya Malaka ke dalam kekuasaan Portugis dan hancurnya Kerajaan Melayu yang diharap-harapkan itu. Maka usaha yang utama sultan yang gagah perkasa itu ialah memperteguh pertahanan Kerajaan Aceh keluar dan ke dalam.
Naiknya seorang Sultan Islam yang teguh beragama itu telah menyebabkan saudagar-saudagar Gujarat, Arab, Persia dan dengan tidak ragu-ragu lagi berlabuh dipantai Aceh. Kebencian  kepada portugis memucak karena cukai yang tinggi di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya. Maka saudagar-saudagar dinegeri lainpun, negeri-negeri Islam, masuk pula berlabuh di pantai Aceh.
Akhirnya, di tahun  1521 dengan secara tiba-tiba Portugis datang menyerang Pasai. Sebagaimana telah kita ceritakan penyerangan atas Pasai inilah yang menyebabkan seorang ulama muda yang baru pulang dari Mekkah tidak dapat lagi kembali  kekampungnya tetapi terus hijrah ke Demak, ia itu Syarif Hidayatullah, pembangun Kerajaan Islam Banten. Tetapi Sultan Ali Al-Moghayat Syah adalah seorang pahlawan gagah berani yang tidak bersenang hati sebelum musuh besar itu dapat diusirnya. Karena apabila Portugis telah bertapak di salah satu Pantai Aceh, akhirnya Aceh akan digulung satu demi satu, dan akan sama nasibnya dengan malaka , atau menjadi Vazal dari Portugis. Maka baginda adakanlah prsiapan yang kuat dan beliau usirlah Portugis  dan beliau rampas kembali Pasai dari Portugis, sebelum Portugis dapat memperteguh kedudukannya dinegeri itu. Setahun setelah merebut Pasai (1522) berangkatlah pembangun kerajaan Aceh yang besar dan gagah berani itu.
2.Sultan Salahuddin (1522-1537)
Setelah Sultan Salahuddin ini memerintah menggantikan ayahnya Sultan Ali Moghyat Syah, kuranglah terpenuhi harapan sejarah terhadap Sultan pengganti ini, karena meskipun dia telah memaki nama salahuddin, tidaklah baginda mempunyai semangat berapi-api seperti Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Dia  tidak dapat memikirkan dan memusatkan perkara yang besar-besar, meskipun dia duduk memerintah 16  tahun lamanya. Untung lah ada seorang adiknya yang lebih berwibawa itu tidak tahan lagi , sehingga dimakzulkannyalah Sultan dari singgasana, lalu dia menggantikan dan memakai nama Sultan Alaudin Riayat Syah.
3.Sultan Allauddin Ri’ayat Syah (1537-1568)
Baginda diberi gelar “ Al- Qahhar” Artinya yang gagah perkasa, karena kemenangan-kemenangan baginda dalam perebutan pengaruh dengan Portugis di beberapa tempat. Karena dalam masa itu Portugis tidak bosan-bosannya meluaskan kuasa sampai-sampai persaingan yang keras dalam berebut pasaran di pantai barat pulau sumatera . Bahkan Sultan yang gagah berani itu hendak merebut Malaka dan mengusir Portugis dari sana, tetapi karena kekuatan tidak seimbang ,tidaklah berdaya maksud baginda. Walaupun bgitu tidaklah brhenti baginda meluaskan kuasa Aceh dan memprkuat pengaruhnya . Di setiap Bandar di sebelah barat pulau sumatera itu baginda angkat Syasbandar dari  orang Aceh. Dimana tempat yang patut diadakan Raja , baginda angkat raja dari keluarga Moghyat Syah, yaitu disebut “ Nan Tunggal Mgat Jebang “. Rupanya pernah pula Portugis mencoba hendak merebut pelabuhan Pariaman dan Tiku dari dalam kuasa Aceh , dan berusaha mengusir raja Pariaman sebagai vazal dari Aceh itu , tetapi kemudian dapat direbut kembali. [2]
4.Sultan Husin (1568-1575)
Putera Al-Qahhar Sultan Husin, dan dalam setengah catatan di sebut Sultan Ali Ri’yat Syah menggantikan ayahnya. Politik ayahnya baginda teruskan yaiitu menentang Portugis. Perjuangan dengan Portugis adalah penetuan sejarah hidup dan mati Aceh.
Sultan Aceh merasa bahwa kedudukan Portugis di Malaka adalah duri dalam daging . Kapal-kapal perang Portugis mengganggu perniagaan ke Selat Malaka, sampai ke Maluku . Kadang-kadang mereka berserikat dengan raja-raja yang masih memeluk agama Hindu di jawa (pajajaran ). Maka Sultan ini telah berazam hendak mengepung Portugis di Malaka. Pada kira-kira tahun 1573 baginda pimpin sndiri angkatan perang Aceh menyerbu ke negeri Perak dan menaklukan negeri itu , karena Sultan Aceh melihat bahwa Sultan Perak Mansur Syah bukan saja lemah menghadapi Portugis, bahkan cukup bukti-bukti bahwa dia meminta perlindungan Portugis.
Sultan Husin mangkat pada tahun 1575, setelah memerintah 7 tahun dan setelah menanamkan pengaruh Aceh lebih mendalam . Agama Islam sangat maju di zaman baginda, sehingga beberapa orang ulama datang dari luar negeri dan bermukim di Aceh .
5. Alaudin Mansyur Syah (1577-1586)
Raja  Alauddin putera Sultan Mansur Syah Perak telah menjadi bangsawan Aceh. Dia telah nikah dengan puteri Indra Ratna Wangsa janda Sultan Seri Alam , dan puteri dari Sultan Al-Qahhar,dan adiknya perempuan telah nikah pula dengan salah seorang keluarga Sultan. Sultan Alaudin Mansur Syah gelar beliau setelah naik tahta , gabungan daripada gelar Sultan Aceh yang mangkat (Al-Qahhar ) dngan gelar ayahnya sendiri Sultan Ahmad Mansyur Syah  di Perak.
Setelah kemudian , pada 15 agustus 1587, jadi jugalah Portugis menyerang Johor , sampai kepusat kerajaan di Batu Sawar , sebagaimana tersebut dalam sejarah Melayu . Meskipun srangan itu tidak membawa kemenangan yang membri keputusan , namun Batu Sawar habis terbakar , sehingga Sultan Abdul Jalil II berpindah dari Batu Sawar ke Ulu sungai Damar, anak Sungai Batu Sawar dan baginda namai tempat kediaman yang baru itu Makam Tauhid.Bahkan kemudian Makam Tauhid itu diserang juga oleh Portugis.
6. Raja Buyung Sultan Ali Ri’ayat Syah (1586-1588)
Salah seorang putra Raja Indrapura diangkatlah oleh orang besar-besar menjadi Sultan menggantikan almarhum Sultan Alauddin Mansur Syah . Yaitu Raja Buyung ,diberi gelar Sultan Ali Al-Moghyat Syah sebagai sdia kala.
Tetapi pengharapan orang menjadi kecewa dengan Sultan yang masih muda ini. Kurang sangat perhatiannya kepada urusan kerajaan. Dia lebih suka bermain muda, member i kesempatan berjudi dan kemewahan anak raja-raja , sehingga kian lama hilanglah cinta kasih orang kepadanya . Mulanya menjadi bisik desus kecelaan kepada dirinya , dikatakan bahwa seorang Sultan yang datang dari daerah pesisir Minangkabau telah membawa adat isdiat yang buruk ke Aceh .
Tidak pelak lagi ; darah Aceh yang panas tidak dapat lama membiarkan Sultan ini berkuasa , diapun mangakat karena dibunuh oleh bangsawan lain (1588), setelah memerintah hanya dua tahun saja.
7. Sultan Alauddin Riayat Syah (Sidi Al-Mukammil 1588-1604)
Maka sepakatlah orang besar-besar ,dibantu oleh ulama-ulama mengangkat seorang bangsawan yang sudah tua menjadi Sultan , diberi gelar Sultan Allaudi Riayat Syah . Selama baginda duduk diatas takhta kerajaan 16 tahun , kekusaan Aceh kian goyah. Bangsa Portugis sudah lebih berani mengusik kedaulatan Aceh . Tujuan baginda terlebih banyak kepada beribadat . Baginda sekali lagi mengirim perutusan ke Istambul menghadap Khalifah , bertemu dengan Sultan Ahmad I(1603-1617). Sultan Turki mengirimkan sebuah bintang kemuliaan tertinggi kepada sultan Aceh dan memperkanakan Kerajaan Aceh memakai bendera Turki yaitu dasar merah, memakai bulan bintang dan disebelah baawahnya terhiaslah sebuah pedang.
Setelah merasa dirinya tidak kuat lagi memikul tanggung jawab seberat itu, Sultan Saidi Al-Mukammil mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan kepada puteranya . Sultan kuasa Muda , yang bergelar Sultan Ali Riayat Syah , yang akan memerintah dari tahun 1604 sampai tahun 1607 , untuk menyediakan seorang pahlawan agung yang akan sanggup menjawab tantangan zamannya , yaitu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam , Pahlawan abad ke tujuh belas.[3]
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Maka sejak Kerajaan Aceh berdiri kedua kali, didirikan oleh Raja Ibrahim bergelar Sultan Ali Al-Moghayat Syah ditahun 1507, sampai naiknya kelak Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di tahun 1607, artinya 100 tahun , Aceh telah melaksanakan tugas sebagai benteng Islam, memperkokoh syariat nabi , laksana benteng kepulauan Nusantara dari “angin barat” dan “glombang Barat” yang telah mulai mengantarkan ombaknya yang dahsyat ke pantai Timur ; membersihkan sisa pengaruh Hindu dan menangkis serbuan kebudayaan Kristen yang di pelopori Portugis , kalau perlu dengan pedang , dan mempersatukan negeri-negeri di Pulau sumatera . Maka timbullah Sultan-sultan pahlawan ? Ali Moghyat Syah , Riayat Syah Al-Qahhar , Sultan Husin dan Allaudin Mansur Syah yang didikan keislamannya telah membentuk pribadinya , shingga walaupun asalnya dari tawanan Perak , namun dia turut memperkokoh kekuasaan Aceh. Kemudian disambung lagi oleh Sultan Saidi Al-Mukammil yang tua dan saleh , guna mempertahankan pusaka nenek moyangnya . sehingga layaklah dengan hati yang rendah kita mengakui dengan penuh kerelaan jika Aceh menamakan dirinya “ Serambi Mekkah”.


B.     Kritik dan Saran
        Penulis mengucapkan terimah kasih kepada pihak-pihak yang telah memberi sumbangsi kepada kami dalam penyelesaian makalah ini. Dan tentunya penulis juga menyadari, bahwa  masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Hal ini Karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis senantiasa menanti kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna penyempurnaan makalah ini.







DAFTAR PUSTAKA


 Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta : N.V.Bulan Bintang 1981
Wahyu, Variz. Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh. Blogspot.com (http://awal-berdiri-kerajaan-aceh.blogspot.com/): di akses bulan maret 2013.

















KATA PENGANTAR

Segala Puji Bagi Allah, yang terpuji karena curahan nikmat-Nya, disembah karena kudrat kuasa-Nya, yang ditaati karena keluasan kerajaan-Nya, yang dihindari siksa-Nya dengan menuju (mendekat) kepada-Nya, Dialah yang menciptakan mahluk dengan kekuasaan-Nya.
Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Para keluarganya, sahabatnya, dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya.
        Terimakasih saya ucapkan kepada ibu Dedeh NurHamidah sebagai Dosen dari Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam yang saya ambil dari beberapa sumber.Penyusun menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan di kemudian hari.
Dengan demikian, penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi  rekan-rekan yang membaca. Amin…

Cirebon, 28 November 2013


   Penyusun



[2] Prof. DR. Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta : N.V.Bulan Bintang, hlm 74-76.
[3] Ibid, hlm 77-84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar