TUGAS MAKALAH
“KERAJAAN ISLAM ACEH ”
Disusun untuk memenuhi tugas mandiri
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Dedeh Nurhamidah, M.Ag
Disusun oleh :
Nur Faozah
Jurusan SPI B/ Semester 1
FAKULTAS ADADDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON TAHUN 2013/2014
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B.
Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Awal
mula berdirinya kerajaan Aceh
B.
Masa kejayaan kerajaan Aceh
C.
Masa kepemimpinan
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Sejarah
Perlawanan melawan para Imperialis barat yang merugikan bangsa Indonesia itu sendiri , sejak
dahulu hingga sekarang . Dalam kerajaan Aceh sendiri mengalami masa yang cukup
rumit. Sejak Raja Iskandar Bangsawan
terakhir yang berhak menduduki takhta Kerajaan Pasai-Samudra, dibawa oleh Cheng
Ho ke Tiongkok, dan mati dibunuh orang di negeri itu, sebagaimana diketahui,
negri Pasai telah mundur. Kemegahannya hanya tinggal karena sejarahnya , sebab
itulah Kerajaan Islam tertua yang tetap dihormati. Bahkan Sultan Muhammad Syah
Permaisura, Raja Hindu Melayu yang mula memeluk Islam dan menjadi sultan
pertama Islam di Malaka baru merasa puas dirinya duduk diatas singgasana
Kerajaan, sebagai seorang Raja Islam, setelah baginda diterima menjadi menantu
oleh Raja Pasai.
Kemajuan
Malaka tidaklah dapat ditahan oleh Pasai. Pelabuhan Pasai telah dangkal.
Penyerangan –penyerangan dari Siam yang tidak dapat ditangkis, kemudian
diiringi pula oleh penyerangan Majapahit, semuanya itu menybabkan Pasai menjadi
muram. Selama Malaka naik sinarnya dilangit tanah Melayu dan Pulau Sumatera,
Pasai terpaksa surut kebelakang. Pasai dan Pedir mulai berkembang
pesat ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun
disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan
ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei” (Kerajaan Aceh).
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana
awal mula berdirinya Kerajaan Aceh?
2. Bagaimana
masa kejayaan Kerajaan Aceh?
3. Jelaskan
masa kepemimpinan Kerajaan Aceh?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
awal mula berdirinya kerajaan Aceh
2.
Mengetahui
masa kejayaan kerajaan Aceh
3.
Mengetahui
masa kepemiminan kerajaan Aceh
BAB
II
PEMBAHASAN
KERAJAAN
ISLAM ACEH
A. Awal Mula
Berdirinya Kerajaan Aceh
Ketika awal kedatangan Bangsa
Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang
yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan
Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis
serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome
Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu “Regno dachei”
(Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16,
dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut Merah, Kairo,
dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra.
Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya
Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini
lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan
ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil dagangannya dengan
harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu justru
dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari
situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh
(Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang
dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula
Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya.
Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk
memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan
bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan
Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra
Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga
mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di
Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan
Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang
dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan
menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti
sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar,
sehingga secara tak sengaja sang awak kapal membeberkan rencananya untuk
menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh rakyat
Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut
kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat,
usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk terus-menerus
memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha
menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana
kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai.
Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang
terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim
meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang istrinya. Sang
istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja
Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008:
387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut
Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka
pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga
dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun
1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri’ayat Syah atau
Ali Ri’ayat Syah, yang merupakan anak bungsu dari Sultan Ibrahim menggantikan
kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut Malaka sebanyak dua kali, sama
seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas
1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa
pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha mengambangkan kekuatan angkatan
perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan internasional dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir.
Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk
meminta bantuannya kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis
yang menguasai wilayah Aceh dan sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak,
Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah
tersebut. Penyerangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari
bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin
Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di Semenanjung adalah orang berikutnya yang
naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan Ali Ri’ayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah
seorang yang sangat baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak
para ulama baik dari nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh.
Hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin
Ri’ayat Syah ibn Sultan Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak
tahun1588, Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Ri’ayat Syah ibn Firman
Syah atau Sultan Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
B. Masa Kejayaan
Kerajaan Aceh
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa
keemasan atau puncak kekuasaan di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu
sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan
Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai bidang, yakni dalam bidang politik,
ekonomi-perdagangan, hubungan internasional, memperkuat armada perangnya, serta
mampu mengembangakan dan memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa
Portugis di Malaka pun semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat
dari Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010,
31)
Sultan Iskandar Muda memperluas
wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi
suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia
mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada
tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan
dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga
Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari
Timur.
Kemajuan dibidang politik luar
negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul
dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia pernah mengirimkan utusannya ke
Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu
dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala
tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki
mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan Aceh (Harry Kawilarang, 2008:
21-22)
Dalam lapangan pembinaan
kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama,
yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing, seperti
Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin
al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri
dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya
Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil
(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan
dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina,
dan Jepang. Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula
(sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari
katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar,
dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab
Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu
cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro:
2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali
kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama daerah-daerah
pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari
pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah
selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat
makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara
(Harry Kawilarang, 2008: 24)[1]
C.
Masa Kepemimpinan Kerajaan Aceh
1.Raja
Ibrohim (Sultan Ali L-Mogayat Syah tahun 1507-1522)
Seketika
Malaka sedang naik, daerah-daerah Aceh yang luas itu termasuk Pasai, Samdera,
Aru, Lamuri, Pidir dan daerah lain di sebelah utara atau selatan terdapatlah
Raja-raja kecil dengan kekuasaan yang terbatas, belum ada yang dapat menyatukan
semuanya. Kadang-kadang mereka membuat hubungan
dengan Malaka. Tetapi Malaka sendiri tidaklah dapat menguasai daerah
seluas itu, sebab kekuasaan Malaka lebih banyak ditumpukan ke sebelah timur
Pulau Perca, seumpama Siak, Rokan, Kampar dan lain-lain.
Setelah
Sultan Manshur Syah Malaka berangkat , kekuatan Malaka menjadi “ tenang” tidak
lagi. Dan setelah memerintah Sultan Mahmud syah, ternyata Malaka mulai mundur,
dan dimasa Sultan Mahmud Syah-lah Portugis menyerang Malaka sehingga jatuh.
Seorang
Raja di negeri Pidir, bernama Raja Ibrohim itulah seorang diantara raja-raja di
daerah-daerah Aceh itu yang kemudiannya sanggup mempersatukan kembali seluruh
Aceh, sebagaimana yang dahulu tercapai di zaman Pasai.
Setelah
negeri-negeri dikelilingnya baginda taklukan. Bagindapun meresmikin dirinya
menjadi sultan negeri Aceh dan rantau jajahan takluknya dengan sebutan Sultan
Ali Al-Moghyat syah. Naik takhta ditahun 1507.
Baru
empat tahun baginda memerintah telah kuatlah kedudukan baginda, tetapi pada
waktu itu pula telah datang mengancam bahay yang baru (1511), yaitu dengan
jatuhnya Malaka ke dalam kekuasaan Portugis dan hancurnya Kerajaan Melayu yang
diharap-harapkan itu. Maka usaha yang utama sultan yang gagah perkasa itu ialah
memperteguh pertahanan Kerajaan Aceh keluar dan ke dalam.
Naiknya
seorang Sultan Islam yang teguh beragama itu telah menyebabkan
saudagar-saudagar Gujarat, Arab, Persia dan dengan tidak ragu-ragu lagi
berlabuh dipantai Aceh. Kebencian kepada
portugis memucak karena cukai yang tinggi di pelabuhan-pelabuhan yang
dikuasainya. Maka saudagar-saudagar dinegeri lainpun, negeri-negeri Islam,
masuk pula berlabuh di pantai Aceh.
Akhirnya,
di tahun 1521 dengan secara tiba-tiba
Portugis datang menyerang Pasai. Sebagaimana telah kita ceritakan penyerangan
atas Pasai inilah yang menyebabkan seorang ulama muda yang baru pulang dari
Mekkah tidak dapat lagi kembali
kekampungnya tetapi terus hijrah ke Demak, ia itu Syarif Hidayatullah,
pembangun Kerajaan Islam Banten. Tetapi Sultan Ali Al-Moghayat Syah adalah
seorang pahlawan gagah berani yang tidak bersenang hati sebelum musuh besar itu
dapat diusirnya. Karena apabila Portugis telah bertapak di salah satu Pantai
Aceh, akhirnya Aceh akan digulung satu demi satu, dan akan sama nasibnya dengan
malaka , atau menjadi Vazal dari Portugis. Maka baginda adakanlah prsiapan yang
kuat dan beliau usirlah Portugis dan
beliau rampas kembali Pasai dari Portugis, sebelum Portugis dapat memperteguh
kedudukannya dinegeri itu. Setahun setelah merebut Pasai (1522) berangkatlah
pembangun kerajaan Aceh yang besar dan gagah berani itu.
2.Sultan Salahuddin (1522-1537)
Setelah
Sultan Salahuddin ini memerintah menggantikan ayahnya Sultan Ali Moghyat Syah,
kuranglah terpenuhi harapan sejarah terhadap Sultan pengganti ini, karena
meskipun dia telah memaki nama salahuddin, tidaklah baginda mempunyai semangat
berapi-api seperti Sultan Salahuddin Al-Ayyubi. Dia tidak dapat memikirkan dan memusatkan perkara
yang besar-besar, meskipun dia duduk memerintah 16 tahun lamanya. Untung lah ada seorang adiknya
yang lebih berwibawa itu tidak tahan lagi , sehingga dimakzulkannyalah Sultan
dari singgasana, lalu dia menggantikan dan memakai nama Sultan Alaudin Riayat
Syah.
3.Sultan Allauddin Ri’ayat Syah
(1537-1568)
Baginda
diberi gelar “ Al- Qahhar” Artinya yang gagah perkasa, karena kemenangan-kemenangan
baginda dalam perebutan pengaruh dengan Portugis di beberapa tempat. Karena
dalam masa itu Portugis tidak bosan-bosannya meluaskan kuasa sampai-sampai
persaingan yang keras dalam berebut pasaran di pantai barat pulau sumatera .
Bahkan Sultan yang gagah berani itu hendak merebut Malaka dan mengusir Portugis
dari sana, tetapi karena kekuatan tidak seimbang ,tidaklah berdaya maksud
baginda. Walaupun bgitu tidaklah brhenti baginda meluaskan kuasa Aceh dan
memprkuat pengaruhnya . Di setiap Bandar di sebelah barat pulau sumatera itu
baginda angkat Syasbandar dari orang
Aceh. Dimana tempat yang patut diadakan Raja , baginda angkat raja dari
keluarga Moghyat Syah, yaitu disebut “ Nan Tunggal Mgat Jebang “. Rupanya
pernah pula Portugis mencoba hendak merebut pelabuhan Pariaman dan Tiku dari
dalam kuasa Aceh , dan berusaha mengusir raja Pariaman sebagai vazal dari Aceh
itu , tetapi kemudian dapat direbut kembali. [2]
4.Sultan Husin (1568-1575)
Putera
Al-Qahhar Sultan Husin, dan dalam setengah catatan di sebut Sultan Ali Ri’yat
Syah menggantikan ayahnya. Politik ayahnya baginda teruskan yaiitu menentang
Portugis. Perjuangan dengan Portugis adalah penetuan sejarah hidup dan mati
Aceh.
Sultan
Aceh merasa bahwa kedudukan Portugis di Malaka adalah duri dalam daging .
Kapal-kapal perang Portugis mengganggu perniagaan ke Selat Malaka, sampai ke
Maluku . Kadang-kadang mereka berserikat dengan raja-raja yang masih memeluk
agama Hindu di jawa (pajajaran ). Maka Sultan ini telah berazam hendak
mengepung Portugis di Malaka. Pada kira-kira tahun 1573 baginda pimpin sndiri
angkatan perang Aceh menyerbu ke negeri Perak dan menaklukan negeri itu ,
karena Sultan Aceh melihat bahwa Sultan Perak Mansur Syah bukan saja lemah
menghadapi Portugis, bahkan cukup bukti-bukti bahwa dia meminta perlindungan
Portugis.
Sultan
Husin mangkat pada tahun 1575, setelah memerintah 7 tahun dan setelah
menanamkan pengaruh Aceh lebih mendalam . Agama Islam sangat maju di zaman
baginda, sehingga beberapa orang ulama datang dari luar negeri dan bermukim di
Aceh .
5. Alaudin Mansyur Syah (1577-1586)
Raja Alauddin putera Sultan Mansur Syah Perak
telah menjadi bangsawan Aceh. Dia telah nikah dengan puteri Indra Ratna Wangsa
janda Sultan Seri Alam , dan puteri dari Sultan Al-Qahhar,dan adiknya perempuan
telah nikah pula dengan salah seorang keluarga Sultan. Sultan Alaudin Mansur
Syah gelar beliau setelah naik tahta , gabungan daripada gelar Sultan Aceh yang
mangkat (Al-Qahhar ) dngan gelar ayahnya sendiri Sultan Ahmad Mansyur Syah di Perak.
Setelah
kemudian , pada 15 agustus 1587, jadi jugalah Portugis menyerang Johor , sampai
kepusat kerajaan di Batu Sawar , sebagaimana tersebut dalam sejarah Melayu .
Meskipun srangan itu tidak membawa kemenangan yang membri keputusan , namun
Batu Sawar habis terbakar , sehingga Sultan Abdul Jalil II berpindah dari Batu
Sawar ke Ulu sungai Damar, anak Sungai Batu Sawar dan baginda namai tempat
kediaman yang baru itu Makam Tauhid.Bahkan kemudian Makam Tauhid itu diserang
juga oleh Portugis.
6. Raja Buyung Sultan Ali Ri’ayat
Syah (1586-1588)
Salah
seorang putra Raja Indrapura diangkatlah oleh orang besar-besar menjadi Sultan
menggantikan almarhum Sultan Alauddin Mansur Syah . Yaitu Raja Buyung ,diberi
gelar Sultan Ali Al-Moghyat Syah sebagai sdia kala.
Tetapi
pengharapan orang menjadi kecewa dengan Sultan yang masih muda ini. Kurang
sangat perhatiannya kepada urusan kerajaan. Dia lebih suka bermain muda, member
i kesempatan berjudi dan kemewahan anak raja-raja , sehingga kian lama
hilanglah cinta kasih orang kepadanya . Mulanya menjadi bisik desus kecelaan
kepada dirinya , dikatakan bahwa seorang Sultan yang datang dari daerah pesisir
Minangkabau telah membawa adat isdiat yang buruk ke Aceh .
Tidak
pelak lagi ; darah Aceh yang panas tidak dapat lama membiarkan Sultan ini
berkuasa , diapun mangakat karena dibunuh oleh bangsawan lain (1588), setelah
memerintah hanya dua tahun saja.
7. Sultan Alauddin Riayat Syah
(Sidi Al-Mukammil 1588-1604)
Maka
sepakatlah orang besar-besar ,dibantu oleh ulama-ulama mengangkat seorang
bangsawan yang sudah tua menjadi Sultan , diberi gelar Sultan Allaudi Riayat
Syah . Selama baginda duduk diatas takhta kerajaan 16 tahun , kekusaan Aceh
kian goyah. Bangsa Portugis sudah lebih berani mengusik kedaulatan Aceh .
Tujuan baginda terlebih banyak kepada beribadat . Baginda sekali lagi mengirim
perutusan ke Istambul menghadap Khalifah , bertemu dengan Sultan Ahmad
I(1603-1617). Sultan Turki mengirimkan sebuah bintang kemuliaan tertinggi
kepada sultan Aceh dan memperkanakan Kerajaan Aceh memakai bendera Turki yaitu
dasar merah, memakai bulan bintang dan disebelah baawahnya terhiaslah sebuah
pedang.
Setelah
merasa dirinya tidak kuat lagi memikul tanggung jawab seberat itu, Sultan Saidi
Al-Mukammil mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan kepada puteranya .
Sultan kuasa Muda , yang bergelar Sultan Ali Riayat Syah , yang akan memerintah
dari tahun 1604 sampai tahun 1607 , untuk menyediakan seorang pahlawan agung
yang akan sanggup menjawab tantangan zamannya , yaitu Sultan Iskandar Muda
Mahkota Alam , Pahlawan abad ke tujuh belas.[3]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Maka sejak Kerajaan
Aceh berdiri kedua kali, didirikan oleh Raja Ibrahim bergelar Sultan Ali
Al-Moghayat Syah ditahun 1507, sampai naiknya kelak Sultan Iskandar Muda
Mahkota Alam di tahun 1607, artinya 100 tahun , Aceh telah melaksanakan tugas
sebagai benteng Islam, memperkokoh syariat nabi , laksana benteng kepulauan
Nusantara dari “angin barat” dan “glombang Barat” yang telah mulai mengantarkan
ombaknya yang dahsyat ke pantai Timur ; membersihkan sisa pengaruh Hindu dan
menangkis serbuan kebudayaan Kristen yang di pelopori Portugis , kalau perlu
dengan pedang , dan mempersatukan negeri-negeri di Pulau sumatera . Maka
timbullah Sultan-sultan pahlawan ? Ali Moghyat Syah , Riayat Syah Al-Qahhar ,
Sultan Husin dan Allaudin Mansur Syah yang didikan keislamannya telah membentuk
pribadinya , shingga walaupun asalnya dari tawanan Perak , namun dia turut
memperkokoh kekuasaan Aceh. Kemudian disambung lagi oleh Sultan Saidi
Al-Mukammil yang tua dan saleh , guna mempertahankan pusaka nenek moyangnya .
sehingga layaklah dengan hati yang rendah kita mengakui dengan penuh kerelaan
jika Aceh menamakan dirinya “ Serambi Mekkah”.
B.
Kritik
dan Saran
Penulis mengucapkan terimah kasih kepada
pihak-pihak yang telah memberi sumbangsi kepada kami dalam penyelesaian makalah
ini. Dan tentunya penulis juga menyadari, bahwa
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan pada makalah ini. Hal ini
Karena keterbatasan kemampuan dari penulis. Oleh karena itu, penulis senantiasa
menanti kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta : N.V.Bulan Bintang
1981
Wahyu, Variz. Awal
Mula Berdirinya Kerajaan Aceh. Blogspot.com (http://awal-berdiri-kerajaan-aceh.blogspot.com/):
di
akses bulan maret 2013.
KATA PENGANTAR
Segala Puji Bagi Allah, yang terpuji karena curahan nikmat-Nya,
disembah karena kudrat kuasa-Nya, yang ditaati karena keluasan kerajaan-Nya,
yang dihindari siksa-Nya dengan menuju (mendekat) kepada-Nya, Dialah yang
menciptakan mahluk dengan kekuasaan-Nya.
Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Para
keluarganya, sahabatnya, dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya.
Terimakasih saya
ucapkan kepada ibu Dedeh NurHamidah sebagai Dosen dari Mata Kuliah Sejarah
Peradaban Islam yang saya ambil dari beberapa sumber.Penyusun menyadari bahwa
masih ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu saya mengharapkan
kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan di kemudian hari.
Dengan demikian, penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan yang
membaca. Amin…
Cirebon, 28 November 2013
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar